PENDAHULUAN
Dalam kehidupan
manusia harta menjadi sesuatu yang penting. Hampir semua aktifitas manusia
tidak lepas dari harta. Dalam al-Qur’an dan hadis pun banyak ayat dan hadis
yang membahas mengenai harta. Harta sebagai titipan, manusia tidak memiliki
harta secara mutlak sehingga dalam pandangan tentang harta, terdapat hak-hak
orang lain, seperti zakat harta dan yang lainnya.[1]
Fungsi harta bagi
manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kehidupan manusia, baik dalam
kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha
untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang
dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti
orang memperoleh harta dengan cara mencuri ia akan memfungsikan harta itu untuk
kesenangan semata dan sebaliknya. Adakalanya harta memberikan manfaat bagi
pemiliknya namun adakalanya harta mampu mengubah niat dan tabiat pemiliknya,
sehingga ada pula ayat atau hadis yang melarang beberapa aktifitas yang
berkaitan dengan harta.[2]
Makalah ini akan
membahas mengenai pengertian harta, pendapat fuqaha dalam mendefinisikan harta,
dasar dan kedudukan harta baik dalam al-Qur’an dan hadis, apa saja pembagian
harta dan fungsinya bagi manusia. Tujuan pembuatan makalah ini untuk menambah
wawasan kita mengenai harta sehingga kita lebih paham dan bijak dalam memiliki,
menguasai dan memanfaatkannya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta dan Pendapat para Ahli Fiqh tentang Harta
Harta
(المَالُ)
berasal dari kata مَلٌ yang berarti
condong, cenderung, atau miring. Secara istilah harta adalah sesuatu yang digandrungi
manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) ketika diperlukan.[3]
Selain
itu harta juga diartikan:
كُلُّ
ماَ يَقْتَضىِ وَيَحُوْزُهُ الْاءِنْسَانُ بِالْفِعْلِ سَوَاءٌ أَكاَنَ عَيْنًا
أَوْمَنْفَعَةً كَذَهَبٍ أَوْفِضَّةٍ أَوْحَيَوَانٍ أَوْنَبَاتٍ أَوْمَنَافِعٍ
الشَّيْءِكَا الرُّكُوْبِ وَاللُّبْسِ وَالسُّكْنَى.
“Sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh
manusia, baik berupa benda yang
tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak
tampak, yaitu manfaat seperti kendaraan, pakaian dan tempat tinggal.[4]
Adapun
pengertian harta menurut beberapa ahli
fiqh:
1. Ulama Hanafiyah
اَلْمَا
لُ كُلُّ مَا يُمْكِنُ حِيَا زَتُهُ وَاِخْرَا زُهُ وَيُنْتَفَعُ بِهِ عَا دَ ةً
Artinya: “Harta
adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan dan dapat dimanfaatkan”.
Menurut definisi
ini, harta memiliki 2 unsur:
a.
Harta
dapat dikuasai dan dipelihara.
b.
Dapat
dimanfaatkan menurut kebiasaan.
2. Pendapat Jumhur Ulama selain Hanafiyah
المَلُهًوَ
كُلُّ مَا لَهُ قِيْمَةُيَلْزَمُ مَتْلَفُهُ بِضَمَا
نِهِ
Artinya: “Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan
diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak atau melenyapkannya”.
Ada perbedaan definisi dari
yang disampaikan oleh ulama Hanafiyah dan Jumhur Ulama, yaitu tentang benda
yang tidak dapat diraba seperti manfaat. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki tetapi bukan harta. Para fuqaha Hanafiyah
menetapkan bahwa yang dipandang harta hanyalah sesuatu yang bersifat benda
saja.[5]
Menurut golongan ulama selain Hanafiyah yang termasuk harta tidak hanya yang
berupa materi tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Selain itu manfaat
dapat digolongkan harta sebab dapat dikuasai dengan cara menguasai dzatnya.
Jika sesuatu itu tidak bermanfaat, manusia tidak mungkin mencari dan mencintai
harta. Manfaat yang dimaksud adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari
benda yang tampak, seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan.[6]
Sementara menurut T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, yang dimaksud dengan harta ialah:
1.
Nama
selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia,
dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola dengan jalan ikhtiar.
2.
Sesuatu
yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh
sebagian manusia.
3.
Sesuatu
yang sah untuk diperjualbelikan.
4.
Sesuatu
yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai seperti sebiji beras dapat dimiliki
oleh manusia, dapat diambil
kegunaannya dan dapat
disimpan, tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai,
maka sebiji beras tidak termasuk harta.
5.
Sesuatu
yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun
dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta, misalnya manfaat, karena manfaat
tidak berwujud sehingga tidak termasuk harta.
6.
Sesuatu
yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil
manfaatnya ketika dibutuhkan.
B. Dasar Hukum dan Kedudukan Harta
Dalam al-Qur’an dan hadis cukup banyak ayat atau hadis
yang membicarakan harta. Harta mempunyai kedudukan yang amat penting dalam
kehidupan manusia. Harta termasuk ke dalam lima kebutuhan pokok manusia (al-dharuriyah)
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan (keturunan) dan harta.[7]
1.
Kedudukan harta dalam al-Qu’ran dan Sunah
a. Dalam al-Qur’an
Ø
Harta sebagai fitnah/ amanat (Q.S at-Taghabun:15)
!$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù 4
ª!$#ur ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOÏàtã ÇÊÎÈ
Artinya:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu
hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”[8]
Ø Harta sebagai perhiasan hidup (Q.S al-Kahfi:46)
ãA$yJø9$# tbqãZt6ø9$#ur èpuZÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$#
Artinya:“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”[9]
Ø Harta untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai kesenangan (Q.S
ali- Imran:14)
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3
Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# (
ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
Artinya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga).”
Berkenaan dengan harta dalam al-Qur’an dijelaskan
larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, antara lain:
Ø Larangan memakan harta sesama manusia (Q.S al-Baqarah
188)
wur
(#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr&
Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
...
Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil”.[10]
Ø Larangan memakan harta dengan penipuan (Q.S al-An’am 152).
wur
(#qç/tø)s?
tA$tB
ÉOÏKuø9$#
wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd
ß`|¡ômr& 4Ó®Lym
x÷è=ö7t ¼çn£ä©r& ( (#qèù÷rr&ur @øx6ø9$#
tb#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/
(
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”.
Ø Larangan mencuri (Q.S al-Maidah 38)
ä-Í$¡¡9$#ur
èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù
$yJßgtÏ÷r&
Artinya:
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya”.[11]
Ø Larangan aktivitas yang merupakan pemborosan (Q.S
al-Isra’ 26)
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$#
¼çm¤)ym
tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur
tûøó$#ur È@Î6¡¡9$#
wur öÉjt7è? #·Éö7s?
ÇËÏÈ
Artinya:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.
Ø Memproduksi, memperdagangkan dan mengonsumsi
barang-barang terlarang seperti narkotika dan minuman keras kecuali untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan.[12]
b. Dalam as-Sunah
Ø Kecelakaan bagi penghamba pada harta
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ
اْلخَمِيْصَةِ اِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَاِنْ لَمْ يُعْطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ
وَاِذَا شِيْكَ فَلاَ انْتَقَشَ
Artinya:
Celakalah orang yang menjadi hamba dinar (uang), orang yang menjadi hamba
dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika diberi, ia bangga,
bila tidak diberi ia marah, mudah-mudahan dia celaka dan merasa sakit, jika dia
kena suatu musibah dia tidak akan memperoleh jalan keluar.[13]
Ø Penghamba harta adalah orang terkutuk
لُعِنَ عَبْدُالدِّنَارِ لُعِنَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ
Artinya:
Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuk pula orang yang
menjadi hamba dirham.[14]
C. Pembagian Harta
Menurut
fuqaha,
pembagian harta dapat ditinjau
dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian
memiliki ciri khas khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini
sebagai berikut:
1.
Dilihat dari segi kebolehannya:
a. Harta mutaqawwim
adalah harta yang boleh diambil
manfaatnya menurut syara’ (halal untuk
dimanfaatkan). Contoh:
daging yang disembelih dengan menyebut asma Allah, uang hasil kerja yang halal.
b. Harta ghair mutaqawwim
adalah sesuatu
yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’ (haram untuk dimanfaatkan). Contoh: uang hasil judi,
uang sumbangan untuk membangun bar (diskotik).[15]
2. Dilihat dari segi jenisnya:
a.
Harta yang tidak bergerak ((العِقَارُ
yaitu harta tetap yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke
tempat lain menurut asalnya, seperti tanah dan rumah.
b. Harta yang bergerak(المَنْقُوْلُ) yaitu harta yang dapat dipindahkan dan diubah
dari tempat satu ke tempat yang lain, seperti barang dagangan, uang.[16]
3.
Dilihat dari segi ada atau tidaknya benda di pasaran:
a. Harta mitsli
adalah benda-benda yang ada jenisnya di pasaran. Misalnya: beras, gula,
telur dll. Harta mitsli ada 4 macam:
-
Mauzunat (benda-benda yang
ditimbang, kapas, besi).
-
Makilat (benda-benda yang
disukat seperti gandum, gula, beras).
- Madzur’at (barang-barang yang diukur, seperti pakaian, papan, kain).
- Addiyat (benda-benda yang bisa dihitung, seperti telur).
b. Harta qimi adalah benda-benda yang tidak ada
jenisnya yang sama dalam satuannya di pasaran.[17]
Dengan perkataan lain, qimi adalah harta yang jenisnya sulit didapatkan
di pasar, bisa diperoleh, tapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
Misalnya: macam-macam pepohonan, logam mulia, alat-alat rumah tangga dll.[18]
4. Dilihat dari segi pemanfaatannya:
a.
Harta
istihlak
adalah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali
dengan menghabiskannya. Misal: makanan,
minuman dll.
Harta istihlak
terbagi dua:
-
Istihlak haqiqi ialah suatu benda
yang menjadi harta yang secara jelas zatnya habis sekali digunakan, misalnya
korek api.
-
Istihlak huquqi ialah harta yang
sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada,
misalnya uang yang digunakan untuk membayar utang.
b. Harta isti’mal adalah
sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara. Misalnya:
kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dan lain sebagainya.[19]
5. Dilihat dari segi bentuknya:
a.
Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian,
beras, jambu, kendaraan (mobil), dan lain sebagainya. Harta ‘ain terbagi
menjadi dua:
- Harta ‘ain dzati qimah, yaitu benda yang memiliki
bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai.
-
Harta ‘ain ghayr dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang
sebagai harta karena tidak memiliki harga, misalnya sebiji beras.
b. Harta dayn ialah sesuatu yang berada dalam
tanggung jawab. Seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.[20]
6.
Mal al-‘ain dan mal al-naf’i (manfaat):
a.
Harta ‘aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk
(berwujud), misalnya rumah, ternak, dan lainnya.
b.
Harta nafi’ ialah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut
perkembangan masa, oleh itu mal al-naf’i tidak berwujud dan tidak
mungkin disimpan.
7. Dilihat dari segi kedudukan harta:
a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah
milik, baik milik perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan
yayasan.
b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan
milik seseorang, seperti mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di
hutan dan buah-buahannya.
c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan
menurut syara’ memiliki sendiri dan mengalihkannya kepada orang lain, adakalanya
benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum,
seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.[21]
8.
Dilihat dari segi dapat dibagi atau tidak dapat dibagi:
a.
Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) yaitu harta yang
tidak menimbulkan suatu kerugian/ kerusakan apabila harta dibagi-bagi, misalnya
beras tepung.
b.
Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) yaitu harta
yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta dibagi-bagi,
misalnya gelas, kursi, meja dll.[22]
9.
Harta pokok dan harta hasil:
a.
Harta pokok yaitu harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain. Harta
pokok bisa disebut harta modal, misalnya uang, emas dll.
b.
Harta hasil yaitu harta yang terjadi dari harta lain, misalnya susu sapi
dari hewan sapi, bulu domba dari domba.[23]
10. Dilihat dari segi pemilikannya:
a.
Harta khas (khusus) ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang
lain tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.
Harta ‘am (umum) ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil
manfaatnya.[24]
D.
Fungsi Harta
o Menyempurnakan pelaksanaan ibadah mahdhah, seperti
shalat, menutup aurat, berzakat, menunaikan ibadah haji.
o Memelihara dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.
o Melangsungkan kehidupan.
o Menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, Nabi
bersabda:
لَيْسَى بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ الدُّنْيَا لأَخِرَتِهِ
وَالأَخِرَةَ لِدُنْيَاهَ حَتَّى يُصِيْبَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلَغٌ
إِلَى الأَخِرَةِ (رواه البخار)
Artinya:
“Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga
seimbang antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat.” (Riwayat al-Bukhari)
o Bekal/ modal mencari dan mengembangkan ilmu.
o Menumbuhkan silaturahmi karena adanya perbedaan dan
keperluan.
o Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan seperti adanya
pembantu dan tuan, orang kaya dan miskin dimana keduanya saling membutuhkan.[25]
E.
Cara Memperoleh Harta.
1.
Menguasai benda mubah
Benda
mubah adalah benda bebas yang belum pernah dimiliki seseorang.[26]
Menguasai benda mubah dapat terjadi dengan:
·
Menghidupkan tanah mati
Tanah mati adalah tanah yang belum pernah diolah dan
dimiliki oleh seseorang pun. Misalnya hutan belukar, tanah di pegunungan dan
sebagainya. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari ‘Urwah dari ‘Aisyah mengajarkan,
“Barangsiapa memakmurkan tanah yang belum pernah dimiliki seseorang pun, ia
lebih berhak atas tanah itu.”
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai harus ada dan
tidaknya izin Imam (Kepala Negara) atau wakil-wakilnya, untuk menghidupkan
tanah mati itu. Abu Hanifah mengharuskan ada izin Imam. Para ulama mazhab
Maliki mengharuskan ada izin Imam, untuk tanah-tanah yang letaknya dekat dengan
kota atau desa, yang jauh tidak perlu ada izin. Para ulama mazhab Syafi’i dan
Hambali berpendapat bahwa izin Imam
tidak diperlukan.[27]
Apabila kita harus memilih di antara pendapat tersebut, maka
pendapat Imam Abu Hanifah lebih dapat menjamin ketertiban dan keadilan dalam
pemilikan tanah mati sebab apabila dibebaskan tanpa izin Imam, mereka yang
berkemampuan materiil sajalah yang akan memperoleh kesempatan untuk menguasai
tanah-tanah mati sedang orang-orang yang tidak berkemampuan materiil akan
menjadi buruh dari tuan-tuan tanah tersebut. Ketentuan harus adanya izin
penguasa untuk menghidupkan tanah mati itu akan memberi kesempatan
pengaturan-pengaturan selanjutnya. Misalnya diadakan ketentuan bahwa seseorang
dapat dinyatakan sebagai pemilik, apabila antara menahan dan menolaknya tidak
lebih dari tiga tahun. Ini berarti apabila batas waktu tersebut tidak
diperhatikan, penguasa dapat mencabut penguasaan orang yang bersangkutan atas
tanah yang ditahan untuk kemudian diserahkan kepada orang lain yang sanggup
hingga tanah tersebut benar-benar berfungsi.[28]
·
Berburu
Berburu binatang darat dan laut dibolehkan bagi semua
orang. Siapa yang lebih dulu memperoleh dia yang memiliki hasil buruannya. Dalam
Quran surat Al-Maidah ayat 1, 2, dan 96 menegaskan bahwa berburu binatang darat
dan laut dibolehkan, kecuali berburu binatang darat bagi orang yang dalam
keadaan ihram, haji, atau umroh.[29]
·
Menguasai tambang dan harta karun
Tambang ialah benda-benda yang terjadi secara alami di
dalam tanah, sedangkan harta karun ialah benda-benda yang tertanam di dalam
tanah atas perbuatan orang pada masa lampau atau tertimbun akibat bencana alam.
Fiqh Islam menamakan benda-benda tambang dengan rikaz (harta yang
tertanam dalam tanah).
Para ulama berselisih pendapat mengenai hak orang
memiliki benda-benda tambang. Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa
orang yang memperoleh benda-benda tambang di tanah kosong, berhak memilikinya
tapi dikenakan pajak 20% yang kemudian diberikan pada baitul mal. Apabila benda
tambang diperoleh dari tanah milik sendiri maka benda itu menjadi miliknya
tanpa dikenakan pajak. Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa benda yang
menjadi milik negara tidak boleh menjadi milik perorangan. Ulama madzhab
Syafi’i dan Hambali membedakan antara benda tambang yang diambil tanpa
memerlukan biaya seperti garam, belerang dengan benda tambang yang memerlukan
biaya seperti emas, perak, timah, dan sebagainya. Benda tambang macam kedua ini
menjadi milik negara sehingga tidak boleh diambil secara perorangan. Adapun
mengenai harta karun pada dasarnya dikenakan wajib pajak 20% dan sisanya
menjadi hak pemilik tanah tempat harta ditemukan kecuali di tanah kosong.[30]
2.
Akad pemindahan milik
Cara memperoleh milik sempurna
dapat terjadi dengan akad pemindahan milik dari seseorang kepada orang lain.
Misalnya jual beli, hibah, wasiat, pemberian mas kawin dan sebagainya.[31]
3.
Penggantian milik dari orang yang telah meninggal (warisan)
Hukum Islam menentukan bahwa
apabila seseorang meninggal dunia harta miliknya menjadi milik ahli warisnya.
Hukum waris adalah ketentuan dari Allah sehingga manusia tidak berhak mengubah
ketentuan dalam hukum waris Islam. Sehingga seseorang tidak dapat
menghalang-halangi ahli waris dari haknya atas harta warisan.[32]
4.
Syuf’ah
Syuf’ah adalah hak membeli
dengan paksaan. Misalnya dalam sebuah persekutuan ada salah satu anggota yang
telah menjual haknya atas harta persekutuan tanpa izin para anggota yang lain,
padahal dalam syirkah milik (persekutuan) terdapat ketentuan apabila ada salah
satu anggota yang hendak memindahkan haknya kepada orang lain maka harus izin
kepada para anggota persekutuan, maka para anggota yang lain berhak membeli
paksa harta tersebut dengan harga yang pantas (tidak harus sebesar harga
penjualannya). Hak syuf’ah dapat berlaku terhadap benda tetap dan bergerak,
namun pada dasarnya hanya dikenakan pada benda yang tidak mungkin dibagi
seperti rumah.[33]
KESIMPULAN
1. Pengertian Harta dan Pendapat para Ahli Fiqh tentang Harta
a.
Pengertian harta secara bahasa adalah condong,
cenderung, atau miring.
b. Pengertian harta secara istilah sesuatu yang
digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) ketika diperlukan.
* Pendapat para ahli tentang harta:
a. Menurut Hanafiyah harta
adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan dan dapat dimanfaatkan.
b.
Menurut Jumhur Ulama selain Hanafiyah harta adalah segala sesuatu yang
mempunyai nilai dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak atau
melenyapkannya.
2. Dasar Hukum dan Kedudukan Harta
·
Dalam al-Qur’an:
a.
Harta sebagai fitnah.
b.
Harta sebagai perhiasan hidup.
c.
Harta untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan.
Ada
ayat yang melarang dalam beraktivitas ekonomi:
-
Larangan memakan harta sesama manusia
-
Larangan memakan harta dengan penipuan
-
Larangan mencuri
-
Aktivitas pemborosan
-
Memproduksi, memperdagangkan dan mengonsumsi barang-barang terlarang.
·
Dalam as-Sunah:
a.
Kecelakaan bagi penghamba pada harta.
b.
Penghambat harta adalah orang terkutuk.
3. Pembagian Harta
ü Dilihat dari segi kebolehan: harta mutaqawwim dan
harta ghair mutaqawwim.
ü Dilihat dari jenisnya: harta bergerak dan tidak bergerak.
ü Dilihat dari segi ada atau tidaknya benda di pasaran: harta
misli dan harta qimi.
ü
Dilihat dari segi pemanfaatannya: harta istihlak dan harta isti’mal.
ü
Dilihat dari segi bentuknya: harta ‘ain dan harta dayn.
ü Dilihat dari segi manfaat: harta ‘ain dan harta naf’i.
ü Dilihat dari segi kedudukan harta: harta mamluk,
mahjur, dan mubah.
ü Dilihat dari segi dapat dibagi dan tidak dapat dibagi: harta
dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
ü Harta pokok dan harta hasil.
ü Dilihat dari segi pemiliknya: harta khas dan harta
‘am.
4. Fungsi Harta
a.
Menyempurnakan pelaksanaan ibadah mahdhah, seperti shalat, menutup aurat, berzakat,
menunaikan ibadah haji.
b.
Memelihara dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.
c.
Melangsungkan kehidupan.
d.
Menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
e.
Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
f.
Menumbuhkan silaturahmi.
5.
Cara memperoleh harta:
-
Menguasai benda-benda mubah
-
Akad (perikatan) pemindahan milik
-
Warisan
-
Syuf’ah
DAFTAR PUSTAKA
Ash-
Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. 1997.
Basyri, Ahmad Azhar. Asas-asas
Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press. 2000.
Hasan, M.Ali. Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Suhendi, Hendi. Fiqh Mu’amalah.
Jakarta: Rja Grafindo Persada. 2008.
Syafei, Rachmat. Fiqih Mu’amalah.
Bandung: Pustaka Setia. 2001.
[3] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi..., 55.
[5] Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh
Mu’amalah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 155.
[7] M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam..., 58-59.
[8] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah...,
24.
[11]Ibid.
[13] Ibid., 25-26.
[14] Ibid., 26.
[17] M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam ...., 64.
[18] Hendi Suhendi, Fiqh
Mu’amalah..., 21.
[20] Hendi Suhendi, Fiqh
Mu’amalah..., 22-23.
[22] Ibid., 26.
[23] Ibid.
[25] Ibid., 27-29.
[27] Ibid., 59.
[29] Ibid.
[30] Ibid., 62.
[31] Ibid.
[32] Ibid., 63.