A.
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Membicarakan manusia sebagai subjek hukum atau kedudukan mukallaf,
ilmu fikh membagi seseorang menjadi dua kecakapan atau dalam istilah fikhiyah
“ahliyah”, yaitu ahliyatullada atau cakap bertindak dan ahliyatulwujub atau
cakap berhak. Cakap bertinadak (ahliyatulada) dibagi menjadi dua yaitu
ahliyatulada kmillah dan ahliyatulada naqisah. Orang yang termasuk dalam
ahliyatulada kamillah ialah yang telah mencapai umur dewasa dan sehat akalnaya
atau aqilbaliqh. Sedangakn yang termasuk ahliyatulada naqishah yaitu mumayiz
(anak yang belum dewas), tetapi sudah mempunyai kemampunan tamyiz. Orang yang
mempunyai ahliyatulwujub kamillah ialah anak yang dilahirkan dalam keadan
hidup, sedangkan yang termasuk dalam ahiyatulwujub naqishah adalah anak yang
masih dalam kandungan. Seseorang yang mempunyai ahliyatulwujub nakishah ialah
oarang yang mempunyai hak sesuatu yang digantungkan pada keadaannya, yakni
apabila bayi yang masih ada dalam kandungan itu nanti lahir dalam keadaan
hidup, maka ia akan mendapatkan pusaka atau atau warisan dari muwaris.
Apabila seseorang pergi meninggalkan tempat tinggalnya baik
bertugas maupun keperluan lain, kemudian orang tersebut tidak diketahui kebar
serta bertempat tinggal dimana, bahkan beritannya apakah masih hidup atau sudah
meninggal dunia, orang tersebut disebut mafqud dan mengakibatkan persoalan bagi
ahli warisnya. Apakah harta yang ditinggalkan itu dapat dibagi oleh ahli waris
yang berhak atau dibiarkan menunggu sampai datangnya orang tersebut?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai waris bagi bayi dalam
kandungan serta waris bagi mafqud, sebagai pembelajaran bersama dalam
matakuliah fikh mawaris.
2.
RUMUSAN MASALAH
1)
Apakah pengertian dari warisan anak dalam kandungan?
2)
Apa syarat bagi anak dalam kandungan yang mendapatkan warisan?
3)
Bagaimana cara memberi bagian warisan kepada anak yang masih dalam
kandungan?
4)
Apakah itu mafqud?
5)
Bagaiman bagian ahli waris yang mafqum?
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Anak Dalam Kandungan
Orang yang
mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab merupakan
bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al quran surah
Al-Ahqof : 15
“kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula”.
Menurut istilah para fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik
laki-laki maupun perempuan”.
Pada
dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan diantara ahli warisnya terdapat
anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa iddah
dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang meninggal,
maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fi’li,
karena hidupnya ketik pewaris meninggal tidak dapat dipastikan. Karena salah
satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah
keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang
masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya,
karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan
lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.
Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyar menyangkut kemaslahatan
demi terpelihara hak anak, maka bagiannya dimawqufkan sampai dia lahir karena
ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketikamuwar isnya meninggal. Atau pada
keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli waris yang mengharuskan
disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal. Oleh karena itu jika
memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk mengetahui
jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta warisan
untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena
ketidak pastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat diselesaikan
secara hukum jika kepastian itu sudah ada.[1]
2.
Syarat-syarat
Anak Dalam Kandungan Yang Mendapatkan Warisan
Syarat-syarat
anak dalam kandungan yang mendapatkan warisan, antara lain:
a.
Anak yang
dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup.
Kalau anak yang dalam kandungan
lahir dalam keaadan mati maka tidak akan mendapat warisan. Tanda-tanda hidup
itu seperti menangis. Sabda Rasulullah SAW:
اذااستهل
المولودورث
Apabiala anak yang lahir itu
menjerit(menangis), diberikan sebagai harta peninggalan. (H.R. Abu Daud dari
Jibril).
Penentuan hidup bayi tersebut
ditentukan oleh hakim. Kalau hakim tidak dapat menentukannya maka minta bantuan
seoarang dokter untuk memberi keterangan apakah bayi itu lahir dalam keaadan
selamat atau mati.[2]
b.
Anak itu telah
wujud dalam kandungan ibunya, ketia oarng itu meninggalkan harta peninggalannya
itu meninggal dunia. Wujud anak dalam kandungan sangat erat kaitannya dengan
adanya nasab antara anak tersebut dengan orang yang meninggal dunia.
3.
Cara
Memberikan Bagian Anak Yang Masih Dalam Kandungan
Islam mempunyai hukum yang sangat adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT. Anak yang masih dalam kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai bagian warisan bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut.
Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
a) Dapat diyakini bahwa
anak itu telah ada dalam kandungan ibunya pada waktu muwarisnya meninggal
dunia.
b) Bayi itu harus
dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang hiduplah yang mempunyai
keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri keadaan hidupnya adalah ketika bayi itu
dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya jeritan (tangisan) atau
gerakan, atau menetek pada payudara ibunya serta ditandai dengan tanda-tanda
kehidupan lainnya.
Dalam pembagian masalah ini, kita harus membagi harta pusaka secara
bertahap, yaitu sebelum bayi lahir diadakan pembagian sementara, sedangkan
pembagian sebenarnya ditangguhkan sampai bayi dilahirkan. Keadaan darurat
semacam ini, memberi motivasi kepada para ahli figh untuk menyusun hukum secara
khusus bagi anak yang ada dalam kandungan, yakni harta pusaka dibagi secara bertahap,
sedapat mungkin berhati-hati demi kemaslahatan anak yang berada dalam
kandungan.[3]
4. Pengertian Mafqud
Oleh para Faradhiyun mafqud diartikan dengan orang yang sudah lama pergi
meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui keberadaannya, tidak diketahui
domisilinya serta hidup dan matinya. Mereka mensistematiskan pembahasan mafqud
ini dalam bagian “miratsuttaqdiry” yaitu pusaka mempusakai dengan jalan
perkiraan, seperti pusaka khuntsa, dan anak dalam kandungan.[4]
5. Pusaka Mafqud
Untuk menentukan bagian
warisan orang yang hilang perlu diadakan pemisahan dalam fungsinya, yaitu
sebagai berikut:
1.
Sebagai muwarits,
Yaitu
orang yang mewariskan harta peninggalannya kepada ahli warisnya Para ulama’
sepakat bahwa harta milik si al-mafqud harus ditahan lebih dahulu
sampai ada berita jelas bahwa ia benar-benar telah meninggal atau ada keputusan
hakim tentang kematiannya. Selama belum jelas atau belum ada vonis hakim
tentang kematiannya, harta miliknya tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli
warisya.
Alasan
yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
a) Salah
satu syarat pusaka mempusakai adalah adanya kematian muwaris, baik mati secara
hakiki maupun secara hukmy, sedangkan orang yang hilang (al-mafqud)
masih diragukan kematiannya.
b) Membagikan
harta milik si al-mafqud kepada ahli warisnya hanya didasarkan
pada keghaibannya semata, padahal masih ada kemungkinan bahwa ia masih hidup,
adalah membahayakan.
Hal
ini harus ditolak secara mutlak, karena menurut dalil istishabul hal (dalil
untuk menetapkan hukum sesuatu atas dasar keadaan semula) bahwa ia masih hidup.
Oleh karena itu ia masih mempunyai milik penuh terhadap harta bendanya.
Jika
pada suatu waktu ia muncul kembali dalam keadaan hidup, sudah barang tentu ia
dapat mengambil kembali seluruh harta bendanya yang sedang ditahan. Tetapi
kalau ia benar-benar telah meninggal dunia atau telah divonis hakim tentang
kematiannya.
Para
ahli waris yang masih hidup di saat kematiannya yang hakiki maupun yang hukmy, dapat
mewarisi harta bendanya yang sedang ditahan. Sedang mereka yang telah mati
mendahului kematiannya atau mendahului tanggal penetapan vonis kematiannya,
walaupun jaraknya tidak lama, tidak dapat mempusakai.
Kecuali
kalau berlakunya vonis kematiannya tersebut berlaku surut dari tanggal
dikeluarkannya vonis dan mereka masih hidup pada tanggal berlakunya vonis
kematiannya.
2.
Sebagai warits (yang mewarisi)
Para fuqaha’ sependapat
bahwa bagian si al-mafqud yang bakal diterimakan kepadanya
ditahan dahulu, sampai jelas persoalannya. Hal itu disebabkan karena:
a. Sebagaimana diketahui
bahwa salah satu syarat mempusakai bagi orang yang mewarisi itu ialah hidupnya
orang yang mewarisi di saat kematiannya orang yang mewariskan. Pada hal
hidupnya al-mafqud, yang mewarisi masih diragukan
b. Memberikan harta benda
kepadanya beserta adanya kemungkinan kematiannya adalah menimbulkan bahaya
(kerugian) bagi para ahli waris. Bahaya itu dielakkan sesuai dengan prinsip
agama Islam.
ولا ضرار لاضرر
Artinya: Tidak ada bahaya dan tidak ada pula
membahayakan.
Satu-satunya
untuk menghindarkan bahaya bagi para ahli waris itu ialah menganggap kematian al-mafqud.
Jika ia muncul dalam keadaan masih hidup, sebelum atau sesudah adanya vonis
hakim tetapi harta peninggalan belum dibagi-bagikan kepada para ahli waris,
maka ia berhak mengambil bagiannya yang sedang ditahan oleh ahli waris yang
memang disediakan untuknya. Tetapi jika harta tersebut sudah dibagi-bagikan
kepada para ahli waris, sampai bagian yang ditahan untuk al-mafqud sekalipun,
maka ia berhak mengambil sisa bagiannya yang tinggal pada tangan ahli waris.
Ini
berarti jika bagiannya yang telah dibagi-bagikan kepada ahli waris itu habis
atau telah rusak hingga tak ada sisa sedikitpun.[28] Para ahli waris tidak diminta pertanggungjawaban
untuk menggantinya atau menukarnya. Sebab dengan adanya keputusan hakim tentang
kematiannya yang mengakibatkan para ahli waris mendapat tambahan kembali dari
bagian yang semestinya disediakan untuk al-mafqud, maka para ahli
waris sudah mempunyai hak secara sempurna untuk mentransaksikan harta miliknya,
demi untuk menghormati dan melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang
ternyata kemudian tidak sesuai dengan kenyataan itu tidak dapat membatalkan hak
para ahli waris untuk memiliki dan mentrasaksikan harta milik sesuai dengan
putusan, selain harta peninggalan yang masih tinggal pada mereka.[5]
C. PENUTUP
KESIMPULAN
v
Bagi anak
yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya,
karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan
lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.
v
Syarat-syarat anak dalam kandungan mendapatkan warisan diantaranya:
a.
Anak yang
dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup.
b.
Anak itu
telah wujud dalam kandungan ibunya, ketia oarng itu meninggalkan harta
peninggalannya itu meninggal dunia.
v
Cara
memberikan bagian anak yang masih dalam kandungan
a.
Anak itu
dapat diyakini masih hidup saat pewaris meninggal dunia.
b.
Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang
hiduplah yang mempunyai keahlian memiliki pusaka.
v
Oleh para Faradhiyun mafqud diartikan dengan orang yang sudah lama pergi
meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui keberadaannya, tidak
diketahui domisilinya serta hidup dan matinya.
v
Untuk menentukan bagian warisan orang yang hilang perlu diadakan pemisahan
dalam fungsinya, yaitu sebagai berikut:
a.
Sebagai
waris.
b.
Sebagai
muwaris.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Asymuni A, dkk. Ilmu Fiqh. Jakarta : IAIN Jakarta,
150.
Rahman,
Fatchur. IlmuWaris. Bandung: PT. Al Ma’arif, 204.
0 komentar:
Post a Comment