Home » » Akad Ariyah

Akad Ariyah

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwasannya dalam islam kita mengenal adanya dua akad yaitu akad yang lebih menitik baratkan dalam hal sosial tanpa menonjolkan unsur keuntungan, pun ada pula akad yang ditujukan untiuk mencari keuntungan. Yang pertama dikenal dengan akad tabarru, sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah akad mu’awadah.
Selanjutnya dalam makalah ini kita tidak akan membicarakan mengenai akad mu’awadah melainkan kita akan membicarakan tenteng akad tabarru. Dalam makalah ini kita akan membicarakan tentang salah satu contoh dari akad tabarru yaitu ariyah atau pinjam-meminjam. Pinjam-meminjam atau yang dikenal dengan ariyah adalah memberikan sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan akan mengembalikan barang yang dipinjam tadi dengan utuh.[1]
Ariyah atau pinjam-meminjam itu sendiri sering dilakukan dalamdi dalam masyarakat. Dalam ariyah diantaranya ada rukun dan syaratnya, lantas bagaiman mengenai rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku dalam ariyah, kita akan membahas lebih dalam semua itui dalam makalah ini.
B.      Latar Masdalah
1.      Apa pengertian dari ariyah?
2.      Apa yang menjadi dasar hukum ariyah?
3.      Apa saja syarat dan rukun dalam ariyah?
4.      Bagaiman tatakrama dalam berpiutang?



PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ariyah
Ariyah (العارية) artinya sesuatu yang dipinjam, pergi dan kembali atau beredar. Dengan demikian ariyah ialah perbuatan seseorang yang membolehkan atau mengizinkan oarang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa ganti rugi.
Para ulama fikih membedakan pengertian ariyah dan hibbah, kendatipun keduanya mengandung pengertian kebebasan memanfaatkan barang. Menurut mereka dalam ariyah unsur yang dipinjam hanya manfaatnya, serta dalam jangka waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu.
Mengenai definisi ariyah para ulama mengemukakan pendapat mereka.
Ulama Malikiyah dan Imam as-Syarakhsi (tokoh fikih Hanafi) mengemukakan definisinya :
تمليك المنفعة بغير عوض
“Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.”
Ulama Syafi’iyah dan Hambali, mengemukakan definisinya :
اباحة المنفعة بلا عوض
“Kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi.”
Kedua definisi tersebut memiliki makna yang berbeda sehingga membawa perbedaan hukum. Umpamanya : mengenai boleh atau tidak seseorang meminjamkan mobil yang dipinjamakan kepada orang lain (pihak ketiga).[2]
Menurut definisi pertama, mobil itu boleh dipinjamkan kepada pihak ketiga, sebab ada kebebasan pemilikan manfaat dan boleh dimanfaatkan oleh orang lain (pihak ketiga). Sedangkan menurut definisi kedua, mobil itu hanya bolehkan pemanfaatkannya oleh pihak kedua, tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak ketiga kecuali dapat izin dari pihak pertama.
B.     Dasar Hukum
Ariyah atau pinjam-meminjam merupakan salah satu akad yang menitik beratkan pada sikap tolong-menolong atau taawun, dan dengan demikian maka balasan akan berupa pahala dari Allah SWT, berupa rezeki yang datangnya dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Adapun yang menjadi dasar hukum dari suatu perjanjian adalah al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 yaitu :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
“...dan dendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
Sedangkan dalam hadis nabi dikatakan bahwa : “ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (H.R. Abu Daud dan Ats-Tirmizi).[3]
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda :
ان رسول الله صلعم استعار فرسا من ابي طلحة فركبه (رواه الخاري و مسلم)
          “Rasulullah meminjam kuda Abi Thalib dan mengendarainya.” (H. R. Bukhari dan Muslim).
Dalam suatu riwayat ada dijelaskan, bahwa Rasulullah pernah meminjam baju perang Abu Sufyan dengan satu jaminan, tidak dengan jalan merampas dan tanpa izin.
Berdasarkan hadis diatas pun ulama fikih mengatakan, bahwa ariyah hukumnya mandub, karena melakukan ariyah merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan asal akad ariyah.[4]
Mazhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarang meminjamkan kepada orang lain.
Madzah Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi berpendapat, bahwa akad ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda tersebut karena itu pemanfaatannya terbatas pada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain.[5]
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum, berdasarak sifat peminjam.
Jumhur ulama bependapat, bahwa pemanfaatan barang oleh pihak peminjam terbatas pada izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
Ulama Mazhab Hanafi membedakan antara ariyah yang bersifat mutlak dan terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak ketiga) maka peminjam (pihak kedua) berkewajiban mengganti kerugian, sekirannya terjadi kerusakan dan mengganti sepenuhnya sekirannya barang itu hilang.[6]
Ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa akad ariyah sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak. Pihak pertama (pemilik barang) berhak membatalka pinjaman tersebut kapan saja dikehendaki dan peminjam pun  (pihak kedua) boleh mengembalikan barang tersebut, bila dia kehendaki, apakah pinjaman mutlak atau terbatas.
Ulama mazhab Maliki mengatakan, bahwa pihak yang meminjam barang (pihak pertama) tidak dapat mengambil barang ariyah sebelum dimanfaatkan oleh peminjam. Demikian halnya apabila dalam akad ariyah itu disebutkan  tengang waktu. Sebelum jatuh tempo barang itu tidak boleh dibatalkan.

C.     Rukun dan Syarat
1.      Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjam barang, sedangakan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Sedangakan menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yaitu ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memenfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu :
a.       Mu’ir (peminjam)
b.      Musta’ir  (yang meminjamkan)
c.       Mu’ar  (barang yang dipinjam)
d.      Shigat, yaitu sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.[7]
2.      Syarat Ariyah
Ulama figih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut :
a)      Mu’ir berakal sehat.
Dengan demikin bahwa orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjam barang. Ulama Hanafiayah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan yang berhak meminjam adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa paksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).[8]
b)      Pemegang barang oleh peminjam.
Ariyah adalah transaksi berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
c)      Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dinafaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.
Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan al-Qur’an atau yang berkaitan dengan al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.[9]
D.    Tatakrama Berpiutang
1.      Kewajiban Pihak Peminjam
Peminjam wajib menjaga dan memelihara barang yang dipinjamnya dengan sebaik-baiknya. Serta mengembalikan barang yang bersangkutan pada saat jangka waktu peminjaman telah habis atau barang yang dipinjamnya diminta kembali oleh pihak yang meminjamkan selama dalam hal diminta kembali itu tidak menyebabkan kerugian pada si peminjam.
Kewajiban peminjam untuk mengembalikan barang yang dipinjam ini didasarkan pada ketentuan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmizi dari Abi Umamah, bahwa nabi Muhammad SAW, bersabda :
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.”
Dalam hal terjadi kehilangan atau rusak, maka si peminjam berkewajiban mengganti barang tersebut.[10]
 Hal ini didasarkan oleh ketentuan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasai yang artinya berbunyi sebagai berikut :
“Dari Shafyan bin Umaiyah : “Sesungguhnya nabi Muhammad SAW. telah meminjam beberapa baju perang dari dari Shufwan pada waktu peperangan Hunain. Shafwan bertanya kepada Rasulullah SAW : “paksakah ya Muhammad? Jawab Rasulullah : buakan tetapi pinjam yang dijamin. Kemudian hilang sebagian, maka Rasulullah SAW. mengemukakan kepada Shafwan bahwa akan digantinya. Shafwan berkata : saya sekarang telah mendapatkan kepuasan dalam islam.”[11]
Berdasrkan pada ketentuan hadis diatas, bahwa mengembalikan pinjaman adalah kewajiban utama dari pihak yang meminjam. Akan tetapi dalam hal pinjam uang melalui akad qardh al-hasan, maka dalam pihak peminjam sesungguhnya tidak ada hak mengembalikan uang tersebut. Karena dalam qardh al-hasan lebih ditujukan menolong orang yang sedang mengalami kesusahan.
E.     Hikmah Ariyah
Ariyah atau pinjam-meminjam dapat menghibur kesedihan, menghilangkan kegundahan hati, dan dapat melahirkan kecintaan hati. Seseorang yang melakukan kebaikan pasti sama-sama dicintai disisi Allah dan di hati manusia pada umumnya.
Suatu saat datang seseorang yang mempunyai kebutuhan (hajat, misalnya) akan meminjam kepada anda suatu barang untuk kebutuhannya atau untuk kebutuhan orang banyak. Sedangkan barang itu tidak anda perlukan, terutama jika barang itu termasuk barang yang remeh yang bisa dipinjamkan kemudian di kembalikan lagi, yakni barang yang bisa dipinjam oleh sesama anggota masyarakat. Maka jika anda mengizinkannnya untuk memeinjamkan barang itu, niscaya anda akan memperoleh pahala yang besar dari Allah dan memperoleh pahala yang besar dari Allah dan memperoleh ungkapan terimakasih dari orang banyak.[12]
Allah SWT. telah mengancam dengan kecelakaan dan siksa yang pedih bagi orang-orang yang tidak mau memberi pertolongan dengan barang yang berguna. Allah SWT. berfirman :
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
“ maka kecelakan bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.” (Q.S. Al-Maa’un : 4-7).
Kebanyakan ahli tafsir menafsirkan maksud dari kata al-Maa’un adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.[13]



















PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas kami menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1)      Pengertian dari, Ariyah (العارية) artinya sesuatu yang dipinjam, pergi dan kembali atau beredar. . Dengan demikian ariyah ialah perbuatan seseorang yang membolehkan atau mengizinkan oarang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa ganti rugi.
2)      Dasar hukum ariyah adalah al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 :
#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
“...dan dendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”
Dan hadis Rasulillah SAW. :
ان رسول الله صلعم استعار فرسا من ابي طلحة فركبه (رواه الخاري و مسلم)
    “Rasulullah meminjam kuda Abi Thalib dan mengendarainya.” (H. R. Bukhari dan Muslim).
3)      Rukun dan Syarat
Ø  Rukun ariyah
Secara umum jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu :
a.      Mu’ir (peminjam)
b.      Musta’ir  (yang meminjamkan)
c.       Mu’ar  (barang yang dipinjam)
d.      Shigat, yaitu sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Ø  Syarat ariyah
a)      Mu’ir berakal sehat.
b)      Pemegang barang oleh peminjam.
c)      Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dinafaatkan, akad tidak sah.
4)      Tatakrama berpiutang, kewajiban pihak peminjam
v  Peminjam wajib menjaga dan memelihara barang yang dipinjamnya dengan sebaik-baiknya. Serta mengembalikan barang yang bersangkutan pada saat jangka waktu peminjaman telah habis.
v  Dalam hal terjadi kehilangan atau rusak, maka si peminjam berkewajiban mengganti barang tersebut.
5)      Hikmah Ariyah
Ariyah atau pinjam-meminjam dapat menghibur kesedihan, menghilangkan kegundahan hati, dan dapat melahirkan kecintaan hati. Seseorang yang melakukan kebaikan pasti sama-sama dicintai disisi Allah dan di hati manusia pada umumnya.












DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ali Al Jurjawi. Hikmah Dibalik Hukum Islam Bidang Muamalah. Kampung Melayu : Mustaqiim. 2003.
Anshori, Abdul Ghofur. Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia. Tanggerang : Argo Media Pustaka. 2006.
Hasan, M. Ali.  Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fikih Muamalat).  Jakarta : Raja Grafinda Persada. 2003.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia. 2001.



[1]Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Tanggerang : Argo Media Pustaka, 2006), 123.
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fikih Muamalat),  (Jakarta : Raja Grafinda Persada, 2003), 239-240.
[3] Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, .....124.
[4] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fikih Muamalat),  .....240-241.
[5] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fikih Muamalat),  .....242.
[6] Ibid,.... 242.
[7] Rachmat  Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), 141.
[8] Ibid,.... 141.
[9] Rachmat  Syafei, Fiqih Muamalah,... 142.
[10] Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokoka Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,..... 125.
[11] Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokoka Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,..... 125.
[12] Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah Dibalik Hukum Islam Bidang Muamalah, (Kampung Melayu : Mustaqiim, 2003), 202.
[13] Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah Dibalik Hukum Islam Bidang Muamalah,.... 203.

0 komentar:

Post a Comment

Put your ad code here

About

Mari belajar bersama berdiskusi bersama dalam blog ini. semoga apa yang kami tulis dapat bermanfaat bagi semuanya, dan jangan lupa kritik dan sarannya untuk kita bersama.

Recent

Comment

Android

iklan

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.

Latest Posts

Join with us

Full width home advertisement

Total Pageviews

Search This Blog

Blogger templates

Post Page Advertisement [Top]

Climb the mountains

About Sure Mag

Search Blog

Social Media

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

test

Travel the world

Blogroll

Followers

IKLAN

iklan

Author Description

Hey there, We are Blossom Themes! We are trying to provide you the new way to look and use the blogger templates. Our designers are working hard and pushing the boundaries of possibilities to widen the horizon of the regular templates and provide high quality blogger templates to all hardworking bloggers!

Featured

Translate

Blogger news

Follow us on FaceBook

About

Advertise
300x250
Here

Ads by Seocips.com

Recent

Blogroll

Bottom Ad [Post Page]

Pages

Facebook

Pages

Comments

Pages - Menu

Pages - Menu

Pages - Menu

android

Most Popular

Weekly