PENDAHULUAN
Jual beli merupakan aktifitas yang
hampir setiap orang melakukakannya, dan bahkan mungkin setiap detiknya ada
transaksi jual beli yang berlangsung. Tetapi tidak banyak yang tau tentang apa
pengertian jual beli, hukum, syarat dan rukun terjadinya jual beli serta bentuk
jual beli itu sendiri.
Jual beli memungkinkan penjual dan
pembeli bertemu secara langsung untuk melakukan transaksi, tetapi saat ini
dengan berkembangnya teknologi jual beli lebih populer dengan istilah jual beli
online. Yang mana penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung cukup
transaksi melalui jejaring sosial atau perantara. Tetapi bukan itu yang akan
kami bahas, melainkan jual beli dalam konteks yang nyata, jual beli yang mempertemukan penjual dan
pembelinya. Serta jual beli yang sesuai dengan syariat Islam.
Di dalam al–Qur’an banyak di bahas
tentang jual beli, salah satunya dalam satunya dalam surat al-Baqarah ayat ke
275 yang menjelaskan bahwasannya Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.[1]
Dan Rasulullah sendiri semasa hidupnya merupakan seorang pedagang, beliau
bersabda bahwa profesi yang paling baik
adalah jual beli. Berikut kisi-kisi pembahasan makalah ini :
1.
Pengertian jual beli
2.
Dasar hukum tentang jual beli
3.
Syarat dan rukun jual beli
4.
Macam-macam jual beli
5.
Manfaat dan hikmah jual beli
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN JUAL BELI
Jual beli (البيع) menurut etimologi diartikan:
مُقاَ بَلَةُ الشَّيْ ءِ بِا لشَّىْ ءِ
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain)”.[2]
Sedangkan menurut
istilah terminologi yang dimaksud jual beli adalah menukar barang dengan barang
atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada
yang lain atas dasar saling merelakan.[3]
Adapun pengertian jual beli menurut para ulama adalah sebagai
berikut:
1.
Ulama Hanafiyah memberikan pengertian jual beli adalah:
مُباَ دَ لَةُ ماَلٍ بِمَا لٍ عَلىَ وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Artinya:
Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan).
2.
Menurut Imam Nawawi, pengertian jual beli adalah:
مُقاَ بَلَةُ ماَلٍ بِماَلٍ تَمْلِيْكاً
Artinya: Pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan.[4]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli
adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela di antara kedua belah pihak, sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Benda dapat mencakup
pengertian barang dan uang, yang bersifat dapat dinilai dan dapat dibenarkan
penggunaannya menurut syara’.[5]
B.
DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual
beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan
yang amat kuat dalam Islam.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
4 ÇËÐÎÈ
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah: 275)
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 ÇÊÒÑÈ
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu. (Q.S
Al-Baqarah: 198).[6]
HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 ÇËÒÈ
Artinya: Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu (Q.S Al-Nisa’: 29).
(#ÿrßÎgô©r&ur….. #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 ÇËÑËÈ….
Artinya:
Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual-beli (Q.S Al-Baqarah: 282).[7]
Dalam Sabda Rasulullah disebutkan:
سُىِٔلَ
النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ فَقاَ لَ:
عَمَلُ الرَّ جُلِ بِيَدِهِ وَ كُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ(رواه البزا روا لحا كم)
Artinya: Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya: Apakah profesi yang
paling baik? Rasulullah menjawab: “
Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim).[8]
Jual
beli yang mendapat berkah dari Allah adalah jual beli yang jujur, yang tidak
curang, tidak mengandung unsur penipuan dan penghianatan.
Sabda Rasulullah:
وَﺇِ نَّمَا الْبَىيْعُ عَنْ
تَرَاضٍ (ر واه البيهق )
Artinya: “Jual beli atas dasar suka
sama suka.” ( HR. Baihaqi)
Sabda Rasulullah:
اَلنَّا
حِرُ الصَّدُوْقُ الْأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِيْقِيْنَ وَالشُّهَداَءِ
(رواه التر مذ ى)
Artinya: “Pedagang yang jujur dan
terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, Siddiqin, dan
Syuhada’.” (HR. Tirmidzi).[9]
C.
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Jual
beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah memenuhi
rukun dan syarat jual beli. Dalam menetapkan jual beli, para ulama berbeda pendapat, di antaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan kabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara ridla atau rela antara kedua belah pihak,
baik dengan ucapan maupun perbuatan. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua
belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar
dalam ijab dan kabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga
barang.[10]
2.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
a.
Orang yang berakad (penjual dan pembeli).
b.
Sighat
(lafal ijab dan kabul).
c.
Ada barang yang dibeli.
d.
Ada nilai tukar pengganti barang.[11]
Menurut jumhur ulama, bahwa syarat jual beli
sesuai dengan rukun jual beli yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1.)
Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad
jual-beli harus memenuhi syarat:
a)
Berakal. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal hukumnya tidak sah. Anak kecil yang sudah mumayyiz (menjelang
baligh), apabila akad yang dilakukannya
membawa keuntungan baginya, seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka
akadnya sah menurut mazhab Hanafi.[12]
Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan
harta kepada orang lain, mewakafkan atau menghibahkannya tidak dibenarkan
menurut hukum.
Transaksi
yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang mengandung manfaat dan mudharat
sekaligus, seperti jual beli, sewa-menyewa dan perserikatan dagang, dipandang
sah menurut hukum dengan ketentuan bila walinya mengizinkan setelah
dipertimbangkan.
Jumhur ulama berpendapat,
bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu, harus telah akil baligh
dan berakal. Apabila orang yang berakal itu masih mumayyiz, maka akad jual beli
tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.[13]
b)
Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda.
Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam
waktu yang bersamaan.
2.)
Syarat yang terkait dengan Ijab dan Kabul
Ulama fiqih sepakat mengatakan,
bahwa urusan utama dalam jual beli
adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat
akad berlangsung. Ijab kabul harus diungkapkan secara jelas dalam transaksi
yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti jual beli, dan sewa menyewa. Sedangkan
transaksi yang sifatnya tidak mengikat salah
satu pihak, seperti wasiat, hibah atau wakaf, tidak perlu ada kabul, dan cukup
dengan ijab saja. Bahkan menurut Ibnu Thaimiyah (mazhab Hanbali) dan ulama
lainnya ijab pun tidak diperlukan dalam masalah wakaf.[14]
Apabila ijab dan kabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka
pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.
Ulama fiqih menyatakan bahwa syarat
ijab dan kabul itu adalah sebagai berikut:
a)
Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal (jumhur ulama)
atau telah berakal (Ulama mazhab Hanafi), sesuai dengan perbedaan mereka dalam
menentukan syarat-syarat seperti telah dikemukakan di atas.[15]
b)
Kabul sesuai dengan ijab. Contohnya : “Saya jual sepeda ini
dengan harga lima ratus ribu rupiah”, lalu pembeli menjawab: “Saya beli
dengan harga lima ratus ribu rupiah”.
c)
Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah
pihak yang melakukan akad jual-beli hadir dan membicarakan masalah yang sama.
Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli beranjak sebelum mengucapkan
kabul atau pembeli mengadakan aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan
akad jual beli tersebut, kemudian sesudah itu dia mengucapkan kabul, maka
menurut kesepakatan ulama fiqih, jual beli tersebut tidak sah.[16]
Berkenaan dengan hal ini, mazhab Hanafi dan mazhab Maliki mempunyai
pandangan lain, bahwa ijab dan kabul boleh saja di antarai oleh waktu, dengan
perkiraan bahwa pihak pembeli mempunyai kesempatan untuk berpikir.
Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali berpendapat, bahwa jarak
antara ijab dan kabul jangan terlalu lama, karena dapat menimbulkan dugaan
bahwa obyek pembicaraan jual beli telah berubah.[17]
Pada zaman sekarang ini, ijab dan kabul tidak lagi diucapkan,
tetapi dilakukan dengan tindakan, bahwa penjual menyerahkan barang dan pembeli mengambil
barang dan menyerahkan uang, tanpa ucapan apapun, seperti yang berlaku di
swalayan. Dalam fiqih Islam, jual beli seperti ini disebut dengan ba’i
al-mu’athah.[18]
Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya boleh, apabila
hal ini telah menjadi kebiasaan masyarakat di suatu negeri. Akan tetapi ulama
Syafi’iyah berpendapat jual beli tersebut tidak sah, alasan mereka adalah
unsur utama jual beli yaitu kerelaan
kedua belah pihak.
Terkait dengan masalah ijab dan kabul ini, dalam jual beli melalui
perantara menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa dan Wahbah Az- Zuhaili, baik melalui
delegasi maupun melalui media tertentu, seperti surat menyurat adalah
dibolehkan, sebab satu majelis tidak harus diartikan dengan sama-sama hadir
dalam majlis secara lahir, tetapi dapat diartikan satu situasi dan satu
kondisi, sekalipun antara kedua belah pihak yang mengadakan transaksi tempatnya
berjauhan, asal topik yang dibicarakan berkisar mengenai jual beli.[19]
3.)
Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan
sebagai berikut:
a.)
Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Adakalanya tidak semua
barang yang akan dijual berada di toko atau belum dikirim dari pabrik, mungkin
karena tempat sempit dan lain sebagainya. Yang terpenting, pada saat diperlukan
barang itu sudah ada ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati
bersama.[20]
b.)
Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c.)
Milik seseorang secara sempurna. Barang yang sifatnya belum
dimiliki seseorang secara sempurna tidak boleh diperjualbelikan, seperti
memperjualbelikan ikan di laut, karena ikan di laut belum dimiliki penjual.
d.)
Dapat diserahkan saat akad berlangsung.
4.)
Syarat Nilai Tukar (Harga Barang)
Nilai tukar barang disebut
juga dengan uang, nilai tukar barang dibedakan antara al-tsaman dan al-si’ru. Al-tsaman adalah harga
pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, sedangkan al-si’ru
adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual
kepada konsumen.[21]
Dengan demikian, terdapat dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan
harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar).
Harga yang digunakan oleh pedagang adalah al-tsaman, berikut
syarat-syaratnya:
a.)
Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.)
Dapat diserahkan pada saat transaksi, meskipun sistem pembayarannya
memakai kartu kredit.
c.)
Apabila jual beli itu
memakai sistem barter, maka tidak diperbolehkan barang yang dijadikan nilai
tukar adalah barang yang diharamkan, seperti khamar.[22]
Untuk menjaga jangan sampai terjadi perselisihan antara pembeli dan
penjual, maka syariat Islam memberikan hak khiyar (hak memilih untuk
melangsungkan atau tidak melangsungkan jula beli) karena ada suatu hal bagi
kedua belah pihak.[23]
D.
BENTUK-BENTUK JUAL BELI
Mazhab Hanafi membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi
tiga bentuk:
1.
Jual Beli yang Shahih
Apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun atau syarat
yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar
lagi, maka jual beli itu shahih dan mengikat kedua belah pihak.[24]
2.
Jual Beli yang Batil
Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak
terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan,
maka jual beli itu batil. Jual beli yang batil itu meliputi:
a.
Jual beli sesuatu yang tidak ada, ulama fiqih sepakat menyatakan tidak sah. Umpamanya
menjual buah-buahan yang baru berkembang (mungkin jadi buah atau tidak).
b.
Menjual barang yang tidak dapat diserahkan, hukumnya tidak sah dan
disepakati oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Umpamanya menjual burung yang ada di udara.[25]
c.
Jual beli yang mengandung unsur tipuan (gharar), umpamanya
barang itu kelihatannya baik sedangkan dibaliknya terlihat tidak baik, atau
menjual ikan yang masih di kolam. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَشْتَروْا السَّمَكَ فىِ الماَ ءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ
(رواه أحمد)
Artinya:
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti itu
termasuk gharar, alias penipuan”. (H.R. Ahmad)[26]
d.
Jual beli benda najis. Menurut mazhab Hanafi diperbolehkan
memperjualbelikan benda najis (tidak untuk dikonsumsi) seperti kotoran kambing
untuk pupuk. Sedangkan mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, tidak memperbolehkan
memperjualbelikan benda najis, bila dilihat dari suci atau tidaknya.
e.
Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang
tidak boleh dimiliki seseorang. Pendapat ini disepakati oleh jumhur ulama dari
kalangan mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
النّاَ سُ شُرَكاَءُ عَلىَ ثَلاَ ثِ، اَلْماَ ءُ
وَالْكَلاَ ءُ وَانَّا رُ (رواه أبوداود واحمد بن حنبل)
Artinya: “Manusia
berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput dan api”. (H.R. Abu Daud dan Ahmad
bin Hanbal).[27]
Air
tersebut adalah milik umat manusia bersama. Kemudian ada yang perlu dipertimbangkan,
yaitu mengenai penjualan air tawar seperti di Jakarta, terutama di daerah yang
airnya asin dan tidak bisa dikonsumsi atau untuk keperluan lain.[28]
Dilihat dari jarak jauhnya, tidak memungkinkan secara perorangan mengambil air
itu di danau atau mata air. Apabila keberatan dengan istilah jual beli, maka
anggap saja sebagai imbalan jasa bagi pemasok air tersebut.
3.
Jual Beli yang Fasid
Menurut ulama Hanafi, jual beli yang fasid antara lain sebagai berikut:
a.
Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan
penjual kepada pembeli: “Saya jual mobil saya ini kepada anda bulan depan
setelah mendapat gaji”. Jual beli seperti ini tidak boleh menurut mazhab
Hanafi dan jumhur ulama, karena masa tenggang paling lama adalah tiga hari, apabila
diberi hak khiyar syarat. Jika terlalu lama dikhawatirkan tidak ada
berita lagi dan akad nya menjadi batal. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
أَنْتَ بِلْخِياَ رِ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ اِبْتَعْتَهَا
ثَلاَ ثَ لَياَ لٍ (رواه البيهقى)
Artinya: “Kamu
boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga
malam”. (H. R. Baihaqi).[29]
b.
Jual beli anggur untuk membuat khamar. Apabila penjual anggur itu
mengetahui bahwa si pembeli akan memproduksi khamar, maka para ulama berbeda
pendapat. Ulama mazhab Syafi’i menganggap hal itu sah, tetapi hukumnya makruh.
Namun, ulama mazhab Maliki dan Hanbali menganggap jual beli ini fasid
sama sekali.[30]
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَ لَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :
مَنْ
حَبَسَ الْعِنَبَ أَياَّ مَ
الْقِطاَفِ حَتَّى يَبِيْعَهُ مِمَنْ يَتَّخِذُهُ خَمْراً فَقَدْ تَقَحَّمَ الناَّ
رَ
عَلىَ بَصِيْرَةٍ. (رواه الطّبرا نى فى الأ و سط
بإسنا د حسن)
Artinya: “ Dari Abdullah bin Buraidah, dari
ayahnya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menahan buah anggur
dari hasil panen paad musim panen tiba untuk dijual kepada pembuat minuman
keras, maka sesungguhnya ia telah menceburkan dirinya ke dalam api neraka dengan
sengaja”. (H.R. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dengan sanad hasan).[31]
c.
Jual beli yang tergantung pada syarat, yakni menentukan dua harga
untuk satu barang yang diperjualbelikan.[32]
Seperti ungkapan pedagang: “Jika kontan harganya Rp. 1.300.000 dan jika
berhutang harganya Rp. 1.350.000”. Jual beli ini dinyatakan fasid. Sabda
Rasulullah:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنْ بَيْعَتَيْنِ وَعَنْ شَرْ طَيْنِ فِى بَيْعٍ (رواه
أ صحاب السنن)
Artinya: “Rasulullah SAW melarang dua jual
beli dalam satu akad dan dua syarat dalam satu bentuk jual beli”. (HR. Ashabas
Sunan)
Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa jual
beli bersyarat di atas adalah batil. Sedangkan ulama mazhab Maliki menyatakan
jual beli bersyarat di atas adalah sah, apabila pembeli diberi hak khiyar.
d. Jual beli yang dilakukan orang buta. Jumhur ulama mengatakan bahwa jual
beli yang dilakukan oleh orang buta adalah sah, jika orang buta itu mempunyai
hak khiyar. Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i, jual beli orang buta itu
tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik,[33]
kecuali barang yang dibeli tersebut telah dilihatnya sebelum matanya buta. Hal
ini berarti, bahwa orang yang buta sejak lahir tidak dibenarkan mengadakan akad
jual beli.
Ada beberapa macam jual beli yang dilarang
oleh agama, tetapi sah hukumnya. Jual
beli tersebut antara lain:
1. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli
benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga
pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.[34]
Perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang berlokasi di daerah perbatasan
antara kota dan kampung. Tapi, jika ini sudah diketahui orang kampung, jual
beli seperi ini tidak apa-apa. Rasulullah SAW bersabda:
قاَلَ رَ سُوْ لُ اللهِ ص.م لاَ يَبِيْعُ حاَضِرٌ لِباَ دٍ (رواه البخارى و
مسلم)
Artinya: “Tidak boleh menjualkan orang
hadir (orang di kota) barang orang dusun (baru datang)”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
2. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang
berkata, “ Tolaklah harga tawarannya itu, nanti akan aku beli dengan harga
yang lebih mahal”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain.
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَسُوْ مُ الرَّ جُلَ عَلىَ
سَوْمِ أَخِيْهِ (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “ Tidak
boleh seseorang menawar di atas tawaran saudaranya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[35]
3.
Jual beli dengan
Najasyi, ialah seseorang melebihi atau menambah harga temannya dengan maksud memancing-mancing
orang agar orang itu mau membeli barang kawannya. Hal ini dilarang agama.
Rasulullah SAW bersabda:
نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَنِ
النَّجَشِ (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “ Rasulullah SAW telah melarang
melakukan jual beli dengan Najasyi”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[36]
4.
Menjual di atas
penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata:
“ Kembalikan saja barang
itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga yang lebih
murah dari itu”. Rasulullah SAW bersabda:
قاَ لَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م
وَلاَ يَبِيْعُ الرَّ جُلَ عَلىَ بَيْعِ أَخِيْهِ (رواه بخارى ومسلم)
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: seseorang tidak boleh menjual atas penjualan orang
lain”. H. R. Bukhari dan Muslim).[37]
Selain beberapa
bentuk jual beli di atas, ada juga bentuk-bentuk jual beli yang dilarang oleh syara’,
antara lain:
1.
Jual beli sperma
hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat
memperoleh turunan. Jual beli ini hukum haramnya, karena Rasulullah SAW
bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قاَلَ نَهىَ
رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ (رواه البخارى)
Artinya: “ Dari
Ibnu Umar r.a, berkata: Rasulullah SAW telah melarang menjual sperma binatang”.
(H. R. Bukhari).[38]
2.
Jual beli dengan muzabanah,
yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi
kering dengan padi bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo
sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh syara’,
Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ أَنَسٍ رض قاَ لَ نَهىَ
رَسُوْ لُ اللهِ عَنِ الممُحاَ قَلَةِ وَالْمُحاَ ضَرَةِ وَالْمُلاَمَسَةِ
وَالْمُناَ بَذَةِ وَالْمُزاَ بَنَةِ (رواه البخارى)
Artinya: “Dari
Annas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli muhaqallah,mukhadharah,
mulammassah, munabazah dan muzabanah”. (H. R. Bukhari).[39]
3.
Barang yang
dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar,
jual beli tersebut dilarang oleh syara’, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:
عَنْ جاَ بِرٍ رض اَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ ص.م قاَ لَ إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ
وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْأَصْناَمِ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Jabir r.a,
Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan
menjual arak,bangkai, babi dan berhala”. (H. R. Bukhari dan Muslim).[40]
4.
Jual beli dengan
persekot. Ulama fiqih berbeda pendapat boleh atau tidaknya transaksi
jual beli seperti ini. Karena adanya larangan ini Imam Malik dan Imam Syafi’i
berpendapat transaksi jual beli seperti ini bathil, di samping karena pada
transaksi tersebut ada syarat yang tidak dibenarkan dan juga termasuk kategori
memakan harta dengan cara yang batil. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْهُ قاَلَ : نَهىَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْ باَ نِ.
(رواه ما لك, قا ل: بلغنى عن
عمر و بن شعيب به)
Artinya: “ Darinya
Radhiyallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli dengan
persekot”. (H.R. Malik, ia berkata: Aku menerimanya dari Amar Ibnu Syu’aib).[41]
E.
MANFAAT DAN HIKMAH JUAL BELI
1.
Manfaat jual beli, di antaranya:
a.
Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
b.
Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan
atau suka sama suka.
c.
Masing-masing pihak merasa puas. Jual beli bisa mendorong untuk
saling membantu antara penjual dan pembeli dalam kebutuhan sehari-hari.
d.
Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e.
Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah Swt.
f.
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. Keuntungan dan laba dari
jual beli dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apabila
kebuthan sehari-hari dapat terpenuhi, maka diharapkan ketenangan dan
ketentraman jiwa dapat pula tercapai.[42]
2.
Hikmah Jual beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya adalah Allah SWT
mensyariatkan jual beli sebagai pemberian kemudahan dan keleluasaan kepada
hamba-hambaNya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia
masih hidup di dunia. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri,
karena itu manusia dituntut berhubungan dengan satu sama lainnya, yakni
memiliki hubungan sosial yang tinggi dan tentunya juga baik antar sesama.
Dalam hubungan ini, tak ada
satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar (jual beli), di mana
seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu
yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.[43]
Tentunya tetap didasari dengan rasa kerelaan antara kedua belah pihak agar
tidak terjadi rasa penyesalan ataupun kekecewaan setelah adanya transaksi
tersebut.
KESIMPULAN
Dari
beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1.
Pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian tukar-menukar benda
atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak,
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati.
2.
Dasar hukum jual beli terdapat pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
275, 197, 282 dan al-Nisa’ ayat 29 serta dalam hadits Nabi tentang sifat jual
beli yang mendapat berkah dari Allah dan profesi yang paling baik yakni jual
beli.
3.
Rukun jual beli menurut mazhab Hanafi hanya meliputi ijab dan kabul
saja. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun jual beli beserta syarat-syaratnya ada
empat, yaitu orang yang berakad (penjual dan pembeli), sighat (lafal
ijab dan kabul), ada barng yang dibeli dan ada nilai tukar pengganti barang.
4.
Bentuk-bentuk jual beli menurut mazhab Hanafi terbagi menjadi tiga:
a.
Jual beli yang shahih, sesuai dengan syari’at Islam, memenuhi rukun
dan syarat jual beli.
b.
Jual beli yang batil, jika salah satu atau seluruh rukun jual beli
tidak dipenuhi dan tidak sesuai syari’at Islam.
c.
Jual beli yang fasid, apabila tidak cukup syarat jual beli.
Bentuk-bentuk
jual beli yang sah tapi dilarang agama:
a.
Membeli barang dengan harga sangat murah, sebelum tahu harga
pasaran. Kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
b.
Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
c.
Jual beli dengan Najasyi.
d.
Menjual di atas penjualan orang lain.
Bentuk-bentuk
jual beli yang dilarang oleh syara’:
a.
Jual beli sperma hewan.
b.
Jual beli dengan muzabanah.
c.
Jual beli yang bendanya najis dan sudah diharamkan.
d.
Jual beli dengan persekot.
5.
Manfaat jual beli yaitu:
a.
Menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak
milik orang lain.
b.
Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan
atau suka sama suka.
c.
Jual beli bisa mendorong untuk saling membantu antara penjual dan
pembeli dalam kebutuhan sehari-hari.
d.
Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e.
Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah Swt.
f.
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
6.
Hikmah jual beli adalah Allah SWT mensyariatkan jual beli sebagai
pemberian keleluasaan kepada hamba-hambaNya. Tak seorang pun dapat memenuhi
hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan dengan satu
sama lainnya dengan saling tukar (jual beli). di mana seseorang memberikan apa
yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang
lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dan adanya rasa kerelaan kedua
belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir. Subulus
Salam Syarah Bulughul Maram Jilid 2. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Mujahidin, Ahmad. Prosedur
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
Shidiq, Sapiudin
dan Abdul Rahman Ghazaly, dkk. Fiqh
Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah.
Bandung: Pustaka Setia, 2001.
[2]
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,,,,, 73.
[5] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah,,,, 69.
[6] M. Ali Hasan, Berbagai
Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
115.
[7]M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 116.
[9] M.
Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 116-117.
[10]
Ibid., 118.
[11]Abdul
Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk, Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), 71.
[13]
Abdul Rahman dkk, Fiqih Muamalat,,,,, 72.
[22]M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 124.
[31] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus
Salam Syarah Bulughul Maram Jilid 2, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007),
376.
[40]
Ibid., 78.
0 komentar:
Post a Comment