PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari
tentu kita tidak dapat dipisahkan dalam hal bermuamalah sebagai makhluk sosial
yang selalu berkaitan dan membutuhkan orang lain untuk mempermudah kita
menjalani hidup ini. Dalam pembahasan yang akan kita kupas ini adalah dalam
bidang ekonomi, karena dengan inilah manusia akan memenuhi seluruh kebutuhannya
dan biasa dilakukan selain jual-beli, pinjam-meminjam adalah salah satunya Ijarah (sewa-menyewa dan upah).[1]
Sewa-menyewa dan upah ini
sangat luas dan beragam macamnya sehingga memerlukan penjelasan yang mendetail.
Dengan perubahan dari waktu ke waktu hingga sampai saat ini Ijarah tentu banyak sekali karena dengan
ini seseorang bisa menghasilkan financial
sekaligus merupakan profesi bagi
mereka. Dan tentu banyak sekali orang yang membutuhkan jasa yang ditawarkannya
sehingga mereka akan sama-sama mendapatkan apa yang diinginkan.[2]
Selain sewa-menyewa Ijarah juga membahas tentang upah yaitu
bagaimana seharusnya kita memberi upah yang sesuai dengan tingkat pekerjaannya,
dilihat dari kadar apakah tergolong pekerjaan yang berat atau ringan.
Kebanyakan zaman sekarang orang-orang itu dalam hal memberi upah sudah berbeda
dengan ajaran. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai segala sesuatu tentang Ijarah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari Ijarah ? berikut pendapat para ulama ?
2.
Apa dasar hukum dari Ijarah ?
3.
Bagaimana syarat dan rukun Ijarah ?
4.
Bagaimana pendapat fuqaha
tentang upah dalam hal ibadah ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Ijaarah (الإجارة ) artinya upah, sewa, jasa atau imbalan.
Salah satu bentuk kegiatan
manusia dalam muamalah adalah sewa- menyewa, kontrak, menjual jasa dan
lain-lain.
Ada beberapa definisi ijaarah yang dikemukakan para ulama:
1. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan:
عَقْدٌ عَلىَ مَنَافِعَ
بِعِوَضٍ
“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan.”
2.
Ulama Mazhab Syafi’I
mendefinisikan:
عًقدٌ عَلىَ مَنْفَعَةٍ
مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُباَحَةٍ قاَبِلَةٍ للِبذْلِ وَالإباَحَةِ بِعوَضٍ
مَعْلُوْمٍ
“Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu
bersifat bias dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu.”
3. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikan:
تَمْلِيْكُ مَنَافِعَ شَييْءٍ
مُباَحَةٍ مُدّةَ مَعْلُوْمٍ بِعِوَضٍ
“Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu imbalan.”[3]
4. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud
dengan ijarah adalah:
عَقْدٌ عَلىَ مَنْفَعَةٍ
مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قاَبِلَةٌ لِلْبَدْلِ وَالإباَحَةِ بِعِوَضٍ وَضْعاً
“Akad atas manfaat yang
diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang
diketahui ketika itu.”
5.
Menurut Muhammad al-Syarbini
al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah
adalah:[4]
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعِوَضٍ بِشُرُوْطٍ
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
6.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”
7. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:
عَقْدٌ مَوْضُوْعَةٌ اَلْمُباَدَلَةِ عَلىَ
مَنْفَعَةِ الشَّيْءِ بِمْدَّةٍ مَحْدُوْدَةٍ اَيْ تَمْليِكُهاَ بِعِوَضٍ فَهِيَ
بَيْعُ الْمَنَافِعِ
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu,
yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
8.
Menurut Idris Ahmad bahwa upah
artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat
tertentu.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kiranya dapat
dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.[5]
Sewa-menyewa adalah:
بَيْعُ الْمَناَفِعِ
“Menjual manfaat”
Dan upah mengupah adalah:
بَيْعُ الْقُوَّةِ
“Menjual tenaga atau kekuatan”[6]
B.
Dasar Hukum
Ulama fiqh berpendapat, bahwa yang menjadi dasar dibolehkan al-ijarah adalah firman Allah:
óOèdr&
tbqßJÅ¡ø)t
|MuH÷qu
y7În/u
4 ß`øtwU
$oYôJ|¡s%
NæhuZ÷t/
öNåktJt±Ïè¨B
Îû
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
4 $uZ÷èsùuur
öNåk|Õ÷èt/
s-öqsù
<Ù÷èt/
;M»y_uy
xÏGuÏj9
NåkÝÕ÷èt/
$VÒ÷èt/
$wÌ÷ß
3 àMuH÷quur
y7În/u
×öyz
$£JÏiB
tbqãèyJøgs
ÇÌËÈ
Artinya: Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (
az-Zukhruf: 32).
Ulama
fiqh juga beralasan kepada firman Allah:
÷bÎ*sù
z`÷è|Êör&
ö/ä3s9
£`èdqè?$t«sù
£`èduqã_é&
jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.
(al-Thalaq:6).[7]
Allah
berfirman:
ôMs9$s%
$yJßg1y÷nÎ)
ÏMt/r'¯»t
çnöÉfø«tGó$#
( cÎ)
uöyz
Ç`tB
|Nöyfø«tGó$#
Èqs)ø9$#
ßûüÏBF{$#
ÇËÏÈ
Artinya:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
dipercaya". (al-Qashash:
26).
Ulama fiqh juga mengemukakan alasan sabda Rasulullah:[8]
اُعْطُواُ اَلاْءَجِيْرَ
اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَّجِفَ عُرُفُهُ
“Berikanlah olehmu upah orang
sewaan sebelum keringatnya kering.” ( Riwayat Ibnu Majah).
اِحْتَجِمْ وَ اَعْطِ
الْحُجَّامَ اَجْرَهُ
“Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim).[9]
C.
Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah adalah:
1.
Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau
upah-mengupah. Mu’jir adalah yang
memberikan upah dan yang menyewakan. Musta’jir
adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa
sesuatu. Disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah swt.
berfirman:[10]
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w (#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (al- Nisa’:
29).
Bagi orang yang berakal ijarah juga
disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga
dapat mencegah terjadinya perselisihan.[11]
2.
Sighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir,
ijab Kabul sewa-menyewa dan upah mengupah. Ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “
aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5.000,00”, maka musta’jir menjawab: “ aku terima mobil
tersebut dengan harga demikian setiap hari.” Ijab Kabul upah-mengupah misalnya
seseorang berkata: “ kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah
setiap hari Rp 10.000.00”, kemudian musta’jir menjawab: “aku akan kerjakan
pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan.”[12]
3.
Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah
pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
4.
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan
dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat berikut:
a.
Hendaklah barang yang menjadi
objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
b.
Hendaklah benda yang menjadi
objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan
pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c.
Manfaat dari benda yang disewa
adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang
(diharamkan).
d.
Benda yang disewakan
disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut
perjanjian dalam akad.[13]
D.
Perbedaan Fuqaha Tentang
Menerima Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Para ulama berbeda sudut pandang tentang dalam hal upah atau
imbalan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan
ketaatan kepada Allah.[14]
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa al-Ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan
kepada Allah seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca
al-Qur’an, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada
arwah orang tua yang menyewa menjadi muadzin, menjadi imam dan lain-lain yang
sejenis haram hukumnya mengambil upah dari pekerja tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah saw:
اِقْرَءُواْ اَلْقُرْآنَ وَلاَ
تاَكُلُوْا بِهِ
“Bacalah olehmu al-Qur’an dan
janganlah kamu cari makan dengan jalan itu.”
Pada hadits lain Rasulullah
saw. bersabda:
وَ إنِ اتَّخَدْتَ مُؤَدِّناً
فَلاَ تأْخُدْ مِنَ الأَذاَنِ أَجْراً
Jika kamu mengangkat seseorang
menjadi muadzin maka janganlah kamu ambil (kamu beri) dari adzan itu suatu
upah.[15]
Perbuatan seperti adzan, shalat, haji,
puasa, membaca al-Qur’an dan dzikir adalah tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah. Karenanya tidak
boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah. Sebagai ilustrasi
sering kita jumpai dibeberapa daerah di Indonesia salah seorang muslim
meninggal dunia, maka keluarga yang wafat meminta kepada santri atau tetangga
untuk membaca al-Qur’an dirumah atau dimakam selama 3 malam, 7 malam atau
bahkan ada yang sampai 40 malam.[16]
Setelah selesai membaca al-Qur’an dan dzikir-dzikir tertentu mereka diberi upah
atas jasanya tersebut. Menurut Sayyid Sabiq, pekerjaan seperti ini batal
menurut hukum islam, karena yang membaca al-Qur’an bertujuan untuk memperoleh
upah (uang) maka baginya tak memperoleh pahala dari Allah sedikitpun.
Persoalannya kemudian apa yang akan ia hadiahkan kepada si mayit.[17]
Dijelaskan oleh Hendi Suhendi dalam buku
fiqh muamalah, para Ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah dari
aktivitas yang dianggap sebagai perbuatan baik. Pengajar al-Qur’an guru agama
di sekolah atau ditempat lain, dibolehkan mengambil atau menerima upah, atas
jasa yang diberikannya, karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan
keluarganya, mengingat mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan aktivitas
lainnya selain aktivitas tersebut.[18]
Menurut Madzhab Hanbali boleh mengambil
upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk
untuk mewujudkan kemaslahatan, tetapi haram hukumnya mengambil upah jika
tujuannya termasuk kepada taqarrub kepada Allah.[19]
Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hasim
membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar dan kegiatan-kegiatan
sejenis karena ini termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang diketahui
(terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazim mengatakan bahwa
pengambilan upah sebagai imbalan mengajar dan kegiatan sejenis, baik secara
bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang
melarang. [20]
E.
Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat
dibagi dua macam, yaitu:
1.
Ijarah yang bersifat manfaat,
umpamanya sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan
perhiasan.[21]
2.
Ijarah yang bersifat
pekerjaan, ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu
pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit,
tukang sepatu, dan lain-lain yaitu ijarah yang bersifat pribadi juga dapat
dibenarkan seperti menggaji pembantu rumah tangga, tukang kebun dan satpam.[22]
F.
Berakhirnya Akad Ijarah
Hal-hal yang menyebabkan berakhirnya akad ijarah, yaitu:[23]
1.
Obyek hilang, rusak atau
musnah, seperti rumah runtuh atau terbakar
2.
Habis tenggang waktu yang
disepakati
kedua point ini telah disepakati oleh ulama.
3.
Menurut Mazhab Hanafi, akad
berakhir apabila salah seorang meninggal dunia, karena manfaat tidak dapat
diwariskan. Berbeda dengan jumhur ulama, akad tidak berakhir (batal) karena
manfaat dapat diwariskan.[24]
KESIMPULAN
1.
Ijaarah (الإجارة ) artinya upah, sewa, jasa atau imbalan. Salah
satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah sewa- menyewa, kontrak,
menjual jasa dan lain-lain.
2.
Rukun dan syarat Ijarah:
a)
Mu’jir dan Musta’jir
b)
Sighat Ijab Kabul
c)
Ujrah
d)
Barang yang disewakan atau
sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah.
3.
Perbedaan pendapat Ulama
tentang upah dalam hal Ibadah
a)
Menurut Madzhab Hanbali boleh
mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar dan sejenisnya, jika tujuannya
termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan, tetapi haram hukumnya mengambil upah
jika tujuannya termasuk kepada taqarrub kepada Allah.
b)
Madzhab Maliki, Syafi’I dan
Ibnu Hasim membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar dan
kegiatan-kegiatan sejenis karena ini termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang
diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula
c)
Menurut Sayyid Sabiq,
pekerjaan seperti ini batal menurut hukum islam, karena yang membaca al-Qur’an
bertujuan untuk memperoleh upah (uang) maka baginya tak memperoleh pahala dari
Allah sedikitpun.
4.
Berakhirnya Akad Ijarah
a)
Obyek hilang, rusak atau
musnah, seperti rumah runtuh atau terbakar
b)
Habis tenggang waktu yang
disepakati
c)
Menurut Mazhab Hanafi, akad
berakhir apabila salah seorang meninggal dunia, karena manfaat tidak dapat
diwariskan. Berbeda dengan jumhur ulama, akad tidak berakhir (batal) karena
manfaat dapat diwariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh
Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Rahman. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syariah). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008.
[1]
Rahman I, Penjelasan
Lengkap Hukum-hukum Allah (syariah) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
461
[3]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), 227-228.
[4]
Ibid., 229.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008), 115.
[6] Ibid.,
[7]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam … 229.
[10]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam …
300
[12]
Ibid., 119
[14]
Abdul Rahman Ghazaly, Gufron
Ihsan, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), 45
[15]
Ibid., 46.
[16]
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syariah) (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), 472.
[17]
Ibid., 473.
[18] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat …, 49.
[19]
Ibid.,
[20]
Ibid., 50.
[21]
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam …,
236
[23]
Ibid., 237.
0 komentar:
Post a Comment