Home » » Hak Dan Milik Dalam Fiqih

Hak Dan Milik Dalam Fiqih


PENDAHULUAN

Setiap manusia hidup bermasyarakat, saling tolong-menolong dalam menghadapi dan menjalankan bebagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara yang satu dengan yang lain. Corak ekonomi Islam sendiri berdarsarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu suatu corak yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Sementara ekonomi yang dianut dalam Islam adalah ialah sesuatu yang menjadi kepentingan umum dijadikan milik bersama, sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan umum dijadikan milik pribadi.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan tersendiri untuk dirinya sendiri, sehingga sudah pasti sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan masing-masing, maka dari itu perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia itu agar tidak melanggar dan mengambil hak-hak orang lain. Disinilah nantinya akan timbul hukum  hak dan kewajiban, yang mengatur peradaban diantara sesama manusia. Hak sendiri merupakan kekuasaan seseorang terhadap suatu barang tertentu yang telah menjadi milik. Namun orang yang memiliki suatu barang belum tentu berhak atas barang tersebut. Karena ada macam dan bentuk dari hak dan milik. Lebih jelasnya akan kita bahas didalam makalah.

RUMUSAN MASALAH:
1. Apa pengertian dari hak, milik dan hak milik?
2. bagaimana dasar hukum hak dan milik?
3. bagaimana sebab-sebab kepemilikan?
4. apa saja macam-macam hak?
5. hikmah dari kepemilikan?



A.  PENGERTIAN HAK DAN MILIK
1.   Pengertian hak
Menurut pengertian umum, hak ialah:
اِخْتِصَاصٌ يُقَرِّرُبِهِ الشَّرْعُ سُلْطَةً أَوْتَكْلِيْفًا
“suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban  hukum” [1]
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, bahwa:
Hak secara Etimologi berarti milik, ketetapan dan kepastian,  sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
ôs)s9 ¨,ym ãAöqs)ø9$# #n?tã öNÏdÎŽsYø.r& ôMßgsù Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÐÈ  
Sesungguhnya telah pasti Berlaku Perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.[2]
Hak diartikan pula dengan menetapkan dan menjelaskan sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Anfal: 8
¨,ÅsãŠÏ9 ¨,ysø9$# Ÿ@ÏÜö7ãƒur Ÿ@ÏÜ»t7ø9$#  
Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik)...” [3]
Lebih lanjut lagi akan dijelaskan pengertian hak menurut Ulama Fiqih (Terminologi):
1.    Menurut sebagian para Ulama mutaakhirin:
الْحَكْمُ الثَابِتُ شَرْعًا

“Hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’.”
2.    Menurut Syekh Ali Al-Khafifi:
مَصْلَحَةٌ مُسْتَحِقَةٌ شَرْعًا

“hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara’.” [4]
3.    Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa’:
اِخْتِصَاصَ يُقَرِّرُبِهِ الشَّرْعُ سُلْطَةً

“hak adalah suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif.”
4.    Menurut Ibnu Nujaim:
اِخْتِصَاصٌ حَاحِزٌ

“hak adalah suatu kekhususan yang terlindungi.”
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, bahwa definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Nujaim dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ adalah definisi yang komprehensif, karena dari kedua definisi itu tercakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat, puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum (hak negara dan hak harta benda) dan hak yang non materi (hak perwaliaan atas seseorang).
2.     Pengertian milik
Pada hakikatnya yang memiliki harta secara mutlak adalah Allah SWT. yang menciptkan semua apa yang ada dalam alam ini. Hal ini banyak dinyatakan  Allah dalam al-Qur’an diantaranya pada surah Ali Imran ayat 109:[5]
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 n<Î)ur «!$# ßìy_öè? âqãBW{$# ÇÊÉÒÈ     
“ Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.”
Namun seluruh yang dimiliki Allah itu dijadikan Allah untuk manusia semuanya sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 29:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ ....
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi .......”[6]

Sedang dalam artian bahasa milik adalah Penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasaannya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syara’.
Maka, hubungan antara manusia dan benda miliknya adalah hubungan antara pemilik dan yang dimiliki, yang dalam Fikih Islam disebut hubungan malikiyah ditinjau dari orangnya, atau hubungan mamlukiyah ditinjau dari bendanya.[7]
  
B.     MACAM-MACAM MILIK DAN HAK
1.    Macam-macam milik
Milik ada dua macam, yaitu milik sempurna dan milik tidak sempurna, milik atas zat benda (Raqabah) dan manfaatnya adalah milik sempurna, sedang milik atas salah satu zat benda atau manfaatnya saja adalah tidak sempurna.
·      Milik Sempurna
Ciri-ciri milik sempurna adalah :
a.    Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
b.    Pemilik mempunyai kebebasan menggunakan, memungut hasil dan melakukan tindakan-tindakan terhadap benda miliknya, sesuia dengan keinginannya.
Milik Sempurna Tidak Terbatas waktu, artinya sesuatu benda milik seseorang selama zat dan manfaatnya masih ada, tetap menjadi milik, selagi belum dipindahkan pada orang lain.
Secara teoritis, sepintas tampak bahwa hukum Islam memandang milik sempurna itu adalah milik mutlak yang harus dijamin keselamatannya dan kebebasan pemiliknya melakukan tindakan-tindakan terhadap miliknya itu. Namun apabila dihubungkan dengan segi-segi ajaran Islam tentang fungsi hak milik, kebebasan pemilik benda bertindak terhadap benda-benda miliknya itu tidak mutlak.
Hal ini berarti bahwa kepentingan orang lain harus menjadi perhatian setiap pemilik benda. Orang tidak mempunyai hak mutlak bertindak terhadap benda miliknya dengan mengabaikan kepentingan orang lain.
·      Milik Tidak Sempurna
Milik Tida Sempurna Ada Tiga Macam :
a.    Milik Atas Zat Benda Saja (Raqabah), tanpa manfaat.
b.    Milik atas manfaat atau hak atas mengambil manfaat benda dalam sifat perorangan.
c.    Hak mengambil manfaat benda dalam sifat kebendaannya, yaitu yang disebut hak-hak kebendaan.[8]

2.    Macam-macam Hak
Ulama Fiqih mengemukakan, bahwa  macam-macam hak dilihat dari berbagai segi:
1.    Dari segi pemilik hak
Dilihat dari segi ini, hak terbagi menjadi 3 (tiga) macam:
a.    Hak Allah SWT. Yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah mengagungkan-Nya, seperti melalui berbagai macam ibadah, jihad, amar ma’ruf nahi munkar.
Hak-hak Allah ini tidak dapat dikaitkan dengan hak-hak pribadi. Hak-hak Allah ini, disebut dengan juga dengan hak masyarakat. Seluruh hak Allah tidak dapat digugurkan, baik melalui perdamaian (Ash-Shulh), maupun pemaafan dan tidak boleh diubah.
b. Hak manusia, yang pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan setipa pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum seperti menjaga (menyediakan) sarana kesehatan, menjaga ketentraman, melenyapkan tindakan kekerasan (pidana)  dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat merusak tatanan masyartakat pada umumnya.
Kemudian ada lagi hak manusia yang bersifat khusus, seperti menjamin hak milik seseorang, hak istri mendapatkan nafkah dari suaminya, hak ibu memelihara anaknya, hak bapak menjadi wali dari anak-anaknya, dan hak berusaha (berikhtiar) dan lain-lain yang sifatnya untuk pribadi (individu).[9]
Kemudian hak manusia ada yang dapat digugurkan dan ada yang tidak dapat digugurkan :
a)    Hak manusia yang dapat digugurkan.
Pada dasrnya seluruh hak yang berkaitan dengan pribadi, bukan yang berkaitan dengan harta benda (materi), dapat digugurkan. Umpamanya : hak qishash, dan hak khiyar. Pengguguran hak pribadi ini dapat dilakukan dengan membayar ganti rugi, atau tanpa ganti rugi[10].
b)   Hak manusia yang tidak dapat digugurkan.
1)   Hak yang belum tetap, seperti hak istri atas nafkah yang akan datang, atau seperti hak khiyar pembeli sebelum melihat barang (objek ) yang dibeli.
2)   Hak yang dimiliki seseorang secara pasti berdasarkan atas ketetapan syara’ seperti ayah atau kakek menggugurkan hak mereka untuk menjadi wali dari anak yang masih kecil, atau hak wakaf atas benda yang diwakafkannya, karena hak wakaf itu berasal dari miliknya.
3)   Hak-hak , yang apabila digugurkan berakibat berubah hukum-hukum ssyara’ ,seperti suami menggugurkan haknya untuk kembali (rujuk) kepada istrinya dan seseorang menggugurkan hak pemilikannya terhadap suatu benda (menggugurkan hak hibah atau wasiat).
4)   Hak-hak, yang di dalamnya terdapat hak orang lain, seperti ibu menggugurkan haknya dalam mengasuh anak, suami menggugurkan idah istri yang ditalaknya, orang yang dicuri hartanya menggugurkan hak hukuman potong tangan bagi si pencuri. Sebab semua hak ini berserikat (gabungan). Apabila ada seorang yang menggugurkan haknya, maka tidak dibenarkan dia menggugurkan hak orang lain (hak Allah dan hak manusia dalam kasus pencurian).[11]
c. Hak berserikat (gabungan) antara lain hak Allah dan hak manusia. Mengenai hak gabungan ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan (lebih berperan) dan adakalnya hak manusia yang lebih dominan.

2.    Dari segi obyek hak
Menurut  Ulama Fikih, dari segi obyeknya, hak terbagi atas:
a.    Haqq maali (hak yang berhubungan dengan harta),  seperti hak penjual terhadap harga barang yang dijualnya dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya. Demikian juga hak orang yang menyewakan terhadap benda yang disewakannya dan hak penyewa terhadap barang yang disewanya (manfaatnya, tidak memilki).
b.    Hak ghairu maali adalah hak-hak yang tidak terkait denga harta benda (materi), seperti hak qhisash, seluruh hak Asasi manusia, hak wanita dalam talak karena suaminya tidak memberi nafkah, hak suami untuk mentalak istrinya karena mandul, hak perwalian terhadap seseorang dan hak-hak politik (hak bebas menggunakan pendapat).
c.    Haqq asy-sakhsyi adalah hak-hak yang  yamg ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti hak pejual untuk menerima hakrga barang yang dijualnya, dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya. Demikian hak seseorang terhadap utang, hak seseorang untuk menerima ganti rugi, karena hartanya dirampas atau dirusak, dan hak istri atau kerabat untuk menerima nafkah.
d.   Haqq al-‘aini adalah hak seseorang yang ditetapkan  syara’ terhadap suatu zat, sehingga ia memilki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki suatu benda, hak irtifaaq (pemanfaatan sesuatu seperti jalan, saluran air) dan hak terhadap benda yang dijadikan sebagai jaminan utang.[12]
e.    Hak mujarrad dan ghairu mujarrad.
1)   Haqq mujarrad  adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas. Apabila di gugurkan melalui perdamaian atau pemaafan. Umpamanya : dalam persoalan utang . jika pemberi utang menggugurkan utang tersebut , dalam pengertian tidak menuntut pengembalian utang itu, maka hal itu tidak memeberi bekas sedikitpun bagi yang berutang.
2)   Haqq ghairu mujarrad adalah suatu hak yang apabila digugurkan atau dimaafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan. Umpanya: dalam hak qhishash . apabila ahli waris terbunuh memaafkan pembunuh, maka pembunuh yang tadinya berhak dibunuh  menjadi tidak berhak lagi. Hal ini bararti bahwa pembunuj yang tadinya halal dibunuh, menjadi haram, karena telah dimaafkan oeleh ahli warisnya. Inilah yang dimaksudkan berbekas (berpengaruh) bagi yang dimaafkan. Dalam hak ghairu mujarrad ini boleh dilakukan perdamaian dengan pemberian ganti rugi (diat). Sedangkan dalam hak mujarrad tidak boleh dilakukan perdamaian dengan ganti rugi.[13]
3.    Dari segi kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut.
Dari segi ini ulama fiqih membagi menjadi dua macam:
a.    Haqq diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan kehakiman. Umpamanya : dalam persoalan utang yang tidak dapat dibuktikan oleh pemberi utang, karena tidak cukup alat-alat bukti di depan pengadilan. Sekalipun tidak dapat dibuktikan didepan pengadilan, maka tanggung jawab yang diutang di hadapan Allah tetap ada dan dituntut pertanggung jawabannya di ahirat kelak. Oleh sebab itu bila lepas dari hak kekuasaan kehakiman, seseorang tetap dituntut di hadapan Allah dan di tuntut hati nuraninya sendiri.[14]
b.    Haqq qadhaai adalah seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilk hak itu mampu membuktikan haknya didepan hakim. Perbedaab antara haqq diyaani dan haqq  qadhaai terletak pada persoalan dzahir (lahir) dan batin.[15]

C.     SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
Harta berdasarkan sifatnya bersedia dan dapat dimiliki oleh manusia, sehingga manusia dapat memiliki benda. Faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain:
1.  Ikraj al Mubahat , untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh seseorang) atau:
اَلْمَالُ الَّذِىْ لَوْيَدْخُلُ فِى مِلْكٍ مُحْتَرَمٍ وَلاَ يُوْجَدُمَانِعٌ شَرْعِيٌّ مِنْ تَمَلُّكِهِ
“harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati (milik yang sah) dan tak ada penghalang syara’ untuk dimmiliki.”
Untuk memiliki benda-benda mubahat tersebut diperlukan dua syarat yaitu:
ü Benda mubahat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seseorang mengumpulkan air dalam suatu wadah, kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah di-ikhraj-kan orang lain.
ü Adanya niat (maksud) memiliki. Maka seseorang memperoleh harta mubahat tanpa adanya niat, tidak termasuk ikhraz,umpamanya seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah, kemudia terjeratlah burung-burung, bila pemburu meletakkan jaringnnya sekedar untuk mengeringkan jaringnya, ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut.[16]
2.  Khalafiyah, yang dimaksud dengan khalafiyah ialah:
حُلُوْ لُ شَخْصٍ أَوْ شَيْئٍ جَدِيْدٍ مَحَلَّ قَدِيْمٍ زَائِلٍ فِى الْحُقُوْقِ
“Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat ditempat yang lama, yang telah hilang berbagai macam haknya. ”
Khalafiyah ada dua macam, yaitu:
Ø Khalafiyah syajhsy’an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta-harta yang ditinggalkan oleh muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
Ø Khalafiyah syai’in syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’in syai’in itu disebut tadlim atau ta’widl (menjamin kerugian).
3.  Tawallud min Mamluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut.
sebab pemilikan Tawallud min Mamluk,dibagi kepada dua pandangan (i’tibar) yaitu:
§  Mengingat ada dan tidak adanya ikhtiar terhadap hasil-hasil yang dimiliki (i’tibar wujud al ikhtiyar wa’adamihi fiha )
§  Pandangan tehadap bekasnya (i’tibar atsariha)[17]

Dari segi ikhtiar, sebab maliyah (memiliki) dibagi dua macam, yaitu ikhtiyariyah dan jabariyah , sebab ikhtiyariyah adalah:

مَا كَانَ لْآِنْسَانُ مُخْتَارً افِى إِيْجَادِهَا
“sesuatu yang manusia mempunyai hak dan ikhtiar dalam mewujudkan”
Sebab-sebab ihtiyariyah ada dua, yaitu ikhraj al-mubahat dan ‘uqud[18]

Sedangakan yang dimaksud dengan jabariyah adalah:.
مَا لَيْسَ لِلْاِ نْسَانِ فِى إِيْجَادِهَااِخْتِيَارٌ
“sesuatu yang senantiasa tidak mempunyai ikhtiar dalam mewujudkan”
Sebab-sebab jabariyah ada dua macam, yaitu irts dan tawallud min al-mamluk.
4.  Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun, Umar r.a. ketika menjabat sebagai khalifah ia berkata; sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang tidak memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun”. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang maka orang itu berhak memiliki tanah itu.[19]

D. HIKMAH KEPEMILIKAN
1.    Manusia tidak boleh sembarang memiliki harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku dan yang telah disyari’atkan.
2.    Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar dan halal.
3.    Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu amanah dari Allah SWT. Yang harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan dijalan Allah.
4.    Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal  yang diharamkan oleh syara’.
5.    Manusia akan hidup tenangdan tentram dengan memiliki harta yang dicari dengan jalan yang baik, benar dan halal sesuai panduan Allah swt.[20]


KESIMPULAN
A.  Hak adalah suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum
B.  Milik adalah Penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasaannya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syara’.
C.  Milik terbagi menjadi dua macam yaitu : milik sempurna dan milik tidak sempurna.
D.  Macam-macam Hak ada 10 yaitu:


Haq al-milkiyah, Haq al-intifa’, Haq al-irtifaq, Haq al-istikhan, Haq al-ikhtibas, Haq qarar, Haq al-murur, Haq ta’alli, Haq al-jiwar dan Haq syafah



E. Sebab-sebab dari kepemilikan yaitu, Ikraj al-mubahat, khalafiyah, Tawallud min mamluk dan karena penguasaan.
F. Hikmah dari Milik
·         Dengan adanya kepimilikan seseorang mempunyai kekuatan hukum atas suatu benda.
·         Dapat mengambil manfaat dari benda yang dimilikinya.
G. Hikmah dari Hak
·         Dengan adanya hak seseorang memiliki kekuasaan atas hartanya.
·         Hak dapat digunakan sebagai pembatas seseorang dalam melakukan sesuatu.






DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah ( Jakarta: Raja Grafindo,2002)
Hasbi Ash Shiddieqiy, Pengantar Fiqih Mu’amalah ( Jakarta: Bulan Bintang,tt)
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat  ( Yogyakarta: UII Press’2000)
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih ( Bogor: Prenada Media, 2003)
Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004)





[1] Hasbi Ash Shiddieqiy, Pengantar Fiqih Mu’amalah ( Jakarta: Bulan Bintang,)hlm,121.
[2] Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2004)hlm,1  
[3] Ibid., 2.
[4] Ibid ., 3-4.
[5]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih ( Bogor: Prenada Media, 2003)hlm,177. 
[6] Ibid.,178.
[7] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat  ( Yogyakarta: UII Press’2000)hlm,45.
[8] Ibid., 49.
[9] Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat) ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm, 4.
[10] Ibid., 5
[11] Ibid., 7
[12] Ibid., 9
[13] Ibid.,10
[14] Ibid.,11
[15] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah ( Jakarta: Raja Grafindo,2002)hlm, 38.
[16]  Hasan, Berbagai Macam.,21.
[17] Ibid .,21.
[18] Suhendi, Fiqih..,39.
[19]  Ibid.,40.
[20]Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqih Muamalat (jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm, 48-45. 

0 komentar:

Post a Comment

Put your ad code here

About

Mari belajar bersama berdiskusi bersama dalam blog ini. semoga apa yang kami tulis dapat bermanfaat bagi semuanya, dan jangan lupa kritik dan sarannya untuk kita bersama.

Recent

Comment

Android

iklan

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.

Latest Posts

Join with us

Full width home advertisement

Total Pageviews

Search This Blog

Blogger templates

Post Page Advertisement [Top]

Climb the mountains

About Sure Mag

Search Blog

Social Media

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

test

Travel the world

Blogroll

Followers

IKLAN

iklan

Author Description

Hey there, We are Blossom Themes! We are trying to provide you the new way to look and use the blogger templates. Our designers are working hard and pushing the boundaries of possibilities to widen the horizon of the regular templates and provide high quality blogger templates to all hardworking bloggers!

Featured

Translate

Blogger news

Follow us on FaceBook

About

Advertise
300x250
Here

Ads by Seocips.com

Recent

Blogroll

Bottom Ad [Post Page]

Pages

Facebook

Pages

Comments

Pages - Menu

Pages - Menu

Pages - Menu

android

Most Popular

Weekly