Fikih Mawaris "Warisan Terhadap Anak Dalam Kandungan"

A.    PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Membicarakan manusia sebagai subjek hukum atau kedudukan mukallaf, ilmu fikh membagi seseorang menjadi dua kecakapan atau dalam istilah fikhiyah “ahliyah”, yaitu ahliyatullada atau cakap bertindak dan ahliyatulwujub atau cakap berhak. Cakap bertinadak (ahliyatulada) dibagi menjadi dua yaitu ahliyatulada kmillah dan ahliyatulada naqisah. Orang yang termasuk dalam ahliyatulada kamillah ialah yang telah mencapai umur dewasa dan sehat akalnaya atau aqilbaliqh. Sedangakn yang termasuk ahliyatulada naqishah yaitu mumayiz (anak yang belum dewas), tetapi sudah mempunyai kemampunan tamyiz. Orang yang mempunyai ahliyatulwujub kamillah ialah anak yang dilahirkan dalam keadan hidup, sedangkan yang termasuk dalam ahiyatulwujub naqishah adalah anak yang masih dalam kandungan. Seseorang yang mempunyai ahliyatulwujub nakishah ialah oarang yang mempunyai hak sesuatu yang digantungkan pada keadaannya, yakni apabila bayi yang masih ada dalam kandungan itu nanti lahir dalam keadaan hidup, maka ia akan mendapatkan pusaka atau atau warisan dari muwaris.
Apabila seseorang pergi meninggalkan tempat tinggalnya baik bertugas maupun keperluan lain, kemudian orang tersebut tidak diketahui kebar serta bertempat tinggal dimana, bahkan beritannya apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia, orang tersebut disebut mafqud dan mengakibatkan persoalan bagi ahli warisnya. Apakah harta yang ditinggalkan itu dapat dibagi oleh ahli waris yang berhak atau dibiarkan menunggu sampai datangnya orang tersebut?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai waris bagi bayi dalam kandungan serta waris bagi mafqud, sebagai pembelajaran bersama dalam matakuliah fikh mawaris.
2.      RUMUSAN MASALAH
1)      Apakah pengertian dari warisan anak dalam kandungan?
2)      Apa syarat bagi anak dalam kandungan yang mendapatkan warisan?
3)      Bagaimana cara memberi bagian warisan kepada anak yang masih dalam kandungan?
4)      Apakah itu mafqud?
5)      Bagaiman bagian ahli waris yang mafqum?
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Anak Dalam Kandungan
Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al quran surah Al-Ahqof : 15
kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula”. Menurut istilah para fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun perempuan”.
Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan diantara ahli warisnya terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fi’li, karena hidupnya ketik pewaris meninggal tidak dapat dipastikan. Karena salah satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyar menyangkut kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya dimawqufkan sampai dia lahir karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketikamuwar isnya meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli waris yang mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal. Oleh karena itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena ketidak pastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.[1]
2.      Syarat-syarat Anak Dalam Kandungan Yang Mendapatkan Warisan
Syarat-syarat anak dalam kandungan yang mendapatkan warisan, antara lain:
a.    Anak yang dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup.
Kalau anak yang dalam kandungan lahir dalam keaadan mati maka tidak akan mendapat warisan. Tanda-tanda hidup itu seperti menangis. Sabda Rasulullah SAW:
اذااستهل المولودورث
Apabiala anak yang lahir itu menjerit(menangis), diberikan sebagai harta peninggalan. (H.R. Abu Daud dari Jibril).
Penentuan hidup bayi tersebut ditentukan oleh hakim. Kalau hakim tidak dapat menentukannya maka minta bantuan seoarang dokter untuk memberi keterangan apakah bayi itu lahir dalam keaadan selamat atau mati.[2]
b.      Anak itu telah wujud dalam kandungan ibunya, ketia oarng itu meninggalkan harta peninggalannya itu meninggal dunia. Wujud anak dalam kandungan sangat erat kaitannya dengan adanya nasab antara anak tersebut dengan orang yang meninggal dunia.
3.      Cara Memberikan Bagian Anak Yang Masih Dalam Kandungan

       Islam mempunyai hukum yang sangat adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT. Anak yang masih dalam kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai bagian warisan bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut.
      Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu : 
a)      Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya pada waktu muwarisnya meninggal dunia.
b)      Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang hiduplah yang mempunyai keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri keadaan hidupnya adalah ketika bayi itu dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya jeritan (tangisan) atau gerakan, atau menetek pada payudara ibunya serta ditandai dengan tanda-tanda kehidupan lainnya.
Dalam pembagian masalah ini, kita harus membagi harta pusaka secara bertahap, yaitu sebelum bayi lahir diadakan pembagian sementara, sedangkan pembagian sebenarnya ditangguhkan sampai bayi dilahirkan. Keadaan darurat semacam ini, memberi motivasi kepada para ahli figh untuk menyusun hukum secara khusus bagi anak yang ada dalam kandungan, yakni harta pusaka dibagi secara bertahap, sedapat mungkin berhati-hati demi kemaslahatan anak yang berada dalam kandungan.[3]
4.      Pengertian Mafqud
Oleh para Faradhiyun mafqud diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui keberadaannya, tidak diketahui domisilinya serta hidup dan matinya. Mereka mensistematiskan pembahasan mafqud ini dalam bagian “miratsuttaqdiry” yaitu pusaka mempusakai dengan jalan perkiraan, seperti pusaka khuntsa, dan anak dalam kandungan.[4]
5.      Pusaka Mafqud
Untuk menentukan bagian warisan orang yang hilang perlu diadakan pemisahan dalam fungsinya, yaitu sebagai berikut:
1.          Sebagai muwarits,
          Yaitu orang yang mewariskan harta peninggalannya kepada ahli warisnya Para ulama’ sepakat bahwa harta milik si al-mafqud harus ditahan lebih dahulu sampai ada berita jelas bahwa ia benar-benar telah meninggal atau ada keputusan hakim tentang kematiannya. Selama belum jelas atau belum ada vonis hakim tentang kematiannya, harta miliknya tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli warisya.
Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
a)      Salah satu syarat pusaka mempusakai adalah adanya kematian muwaris, baik mati secara hakiki maupun secara hukmy, sedangkan orang yang hilang (al-mafqud) masih diragukan kematiannya.
b)      Membagikan harta milik si al-mafqud kepada ahli warisnya hanya didasarkan pada keghaibannya semata, padahal masih ada kemungkinan bahwa ia masih hidup, adalah membahayakan.
Hal ini harus ditolak secara mutlak, karena menurut dalil istishabul hal (dalil untuk menetapkan hukum sesuatu atas dasar keadaan semula) bahwa ia masih hidup. Oleh karena itu ia masih mempunyai milik penuh terhadap harta bendanya.
Jika pada suatu waktu ia muncul kembali dalam keadaan hidup, sudah barang tentu ia dapat mengambil kembali seluruh harta bendanya yang sedang ditahan. Tetapi kalau ia benar-benar telah meninggal dunia atau telah divonis hakim tentang kematiannya.
Para ahli waris yang masih hidup di saat kematiannya yang hakiki maupun yang hukmy, dapat mewarisi harta bendanya yang sedang ditahan. Sedang mereka yang telah mati mendahului kematiannya atau mendahului tanggal penetapan vonis kematiannya, walaupun jaraknya tidak lama, tidak dapat mempusakai.
Kecuali kalau berlakunya vonis kematiannya tersebut berlaku surut dari tanggal dikeluarkannya vonis dan mereka masih hidup pada tanggal berlakunya vonis kematiannya.

2.          Sebagai warits (yang mewarisi)
Para fuqaha’ sependapat bahwa bagian si al-mafqud yang bakal diterimakan kepadanya ditahan dahulu, sampai jelas persoalannya. Hal itu disebabkan karena:
a.       Sebagaimana diketahui bahwa salah satu syarat mempusakai bagi orang yang mewarisi itu ialah hidupnya orang yang mewarisi di saat kematiannya orang yang mewariskan. Pada hal hidupnya al-mafqud, yang mewarisi masih diragukan
b.      Memberikan harta benda kepadanya beserta adanya kemungkinan kematiannya adalah menimbulkan bahaya (kerugian) bagi para ahli waris. Bahaya itu dielakkan sesuai dengan prinsip agama Islam.
ولا ضرار لاضرر
Artinya: Tidak ada bahaya dan tidak ada pula membahayakan.
Satu-satunya untuk menghindarkan bahaya bagi para ahli waris itu ialah menganggap kematian al-mafqud. Jika ia muncul dalam keadaan masih hidup, sebelum atau sesudah adanya vonis hakim tetapi harta peninggalan belum dibagi-bagikan kepada para ahli waris, maka ia berhak mengambil bagiannya yang sedang ditahan oleh ahli waris yang memang disediakan untuknya. Tetapi jika harta tersebut sudah dibagi-bagikan kepada para ahli waris, sampai bagian yang ditahan untuk al-mafqud sekalipun, maka ia berhak mengambil sisa bagiannya yang tinggal pada tangan ahli waris.
Ini berarti jika bagiannya yang telah dibagi-bagikan kepada ahli waris itu habis atau telah rusak hingga tak ada sisa sedikitpun.[28] Para ahli waris tidak diminta pertanggungjawaban untuk menggantinya atau menukarnya. Sebab dengan adanya keputusan hakim tentang kematiannya yang mengakibatkan para ahli waris mendapat tambahan kembali dari bagian yang semestinya disediakan untuk al-mafqud, maka para ahli waris sudah mempunyai hak secara sempurna untuk mentransaksikan harta miliknya, demi untuk menghormati dan melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang ternyata kemudian tidak sesuai dengan kenyataan itu tidak dapat membatalkan hak para ahli waris untuk memiliki dan mentrasaksikan harta milik sesuai dengan putusan, selain harta peninggalan yang masih tinggal pada mereka.[5]
C.    PENUTUP
KESIMPULAN
v  Bagi anak yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, satu atau kembar.
v  Syarat-syarat anak dalam kandungan mendapatkan warisan diantaranya:
a.       Anak yang dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup.
b.      Anak itu telah wujud dalam kandungan ibunya, ketia oarng itu meninggalkan harta peninggalannya itu meninggal dunia.
v  Cara memberikan bagian anak yang masih dalam kandungan
a.       Anak itu dapat diyakini masih hidup saat pewaris meninggal dunia.
b.      Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang hiduplah yang mempunyai keahlian memiliki pusaka.
v  Oleh para Faradhiyun mafqud diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui keberadaannya, tidak diketahui domisilinya serta hidup dan matinya.
v  Untuk menentukan bagian warisan orang yang hilang perlu diadakan pemisahan dalam fungsinya, yaitu sebagai berikut:
a.       Sebagai waris.
b.      Sebagai muwaris.

DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Asymuni A, dkk. Ilmu Fiqh. Jakarta : IAIN Jakarta, 150.
Rahman, Fatchur. IlmuWaris. Bandung: PT. Al Ma’arif, 204.




[2] Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: ProyekPembinaanPrasaranadanSaranaPerguruanTinggi Agama Islam/ IAIN di Jakarta DirektoratJenderalKelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986), 150.
[4] FatchurRahman, IlmuWaris, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1994), 204.

Jual Beli Dalam Islam

PENDAHULUAN

Jual beli merupakan aktifitas yang hampir setiap orang melakukakannya, dan bahkan mungkin setiap detiknya ada transaksi jual beli yang berlangsung. Tetapi tidak banyak yang tau tentang apa pengertian jual beli, hukum, syarat dan rukun terjadinya jual beli serta bentuk jual beli itu sendiri.
Jual beli memungkinkan penjual dan pembeli bertemu secara langsung untuk melakukan transaksi, tetapi saat ini dengan berkembangnya teknologi jual beli lebih populer dengan istilah jual beli online. Yang mana penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung cukup transaksi melalui jejaring sosial atau perantara. Tetapi bukan itu yang akan kami bahas, melainkan jual beli dalam konteks yang nyata,  jual beli yang mempertemukan penjual dan pembelinya. Serta jual beli yang sesuai dengan syariat Islam.
Di dalam al–Qur’an banyak di bahas tentang jual beli, salah satunya dalam satunya dalam surat al-Baqarah ayat ke 275 yang menjelaskan bahwasannya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.[1] Dan Rasulullah sendiri semasa hidupnya merupakan seorang pedagang, beliau bersabda  bahwa profesi yang paling baik adalah jual beli. Berikut kisi-kisi pembahasan makalah ini :
1.      Pengertian jual beli
2.      Dasar hukum tentang jual beli
3.      Syarat dan rukun jual beli
4.      Macam-macam jual beli
5.      Manfaat dan hikmah jual beli
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN JUAL BELI
      Jual beli (البيع)  menurut etimologi diartikan:
مُقاَ بَلَةُ الشَّيْ ءِ بِا لشَّىْ ءِ
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”.[2]
      Sedangkan menurut istilah terminologi yang dimaksud jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.[3]
Adapun pengertian jual beli menurut para ulama adalah sebagai berikut:
1.        Ulama Hanafiyah memberikan pengertian jual beli adalah:
مُباَ دَ لَةُ ماَلٍ بِمَا لٍ عَلىَ وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Artinya:  Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
2.        Menurut Imam Nawawi, pengertian jual beli adalah:
مُقاَ بَلَةُ ماَلٍ بِماَلٍ تَمْلِيْكاً
Artinya: Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.[4]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, yang bersifat dapat dinilai dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara’.[5]

B.     DASAR HUKUM JUAL BELI
        Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.
    Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 š ÇËÐÎÈ                                                                      
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  (Q.S   Al-Baqarah: 275)
        }§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 ÇÊÒÑÈ                                                        
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari  Tuhanmu. (Q.S Al-Baqarah: 198).[6]
HwÎ)  br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 ÇËÒÈ                                                                 
Artinya: Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu (Q.S Al-Nisa’: 29).
(#ÿrßÎgô©r&ur…..  #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 ÇËÑËÈ….   
Artinya: Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual-beli (Q.S Al-Baqarah: 282).[7]
Dalam Sabda Rasulullah disebutkan:
 سُىِٔلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ فَقاَ لَ: عَمَلُ الرَّ جُلِ بِيَدِهِ وَ كُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ(رواه البزا روا لحا كم)  
Artinya: Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya: Apakah profesi yang paling baik?  Rasulullah menjawab: “ Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”.  (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim).[8]
        Jual beli yang mendapat berkah dari Allah adalah jual beli yang jujur, yang tidak curang, tidak mengandung unsur penipuan dan penghianatan.
Sabda Rasulullah:
وَﺇِ نَّمَا الْبَىيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (ر واه البيهق )                                                                            
Artinya: “Jual beli atas dasar suka sama suka.” ( HR. Baihaqi)
Sabda Rasulullah:
                                                     اَلنَّا حِرُ الصَّدُوْقُ الْأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِيْقِيْنَ وَالشُّهَداَءِ (رواه التر مذ ى)
Artinya: “Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, Siddiqin, dan Syuhada’.” (HR. Tirmidzi).[9]
C.     RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
       Jual beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Dalam menetapkan jual beli, para ulama  berbeda pendapat, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan kabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridla atau rela antara kedua belah pihak, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan kabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.[10]
2.      Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
a.       Orang yang berakad (penjual dan pembeli).
b.      Sighat (lafal ijab dan kabul).
c.       Ada barang yang dibeli.
d.      Ada nilai tukar pengganti barang.[11]
         Menurut jumhur ulama, bahwa syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1.)    Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual-beli harus memenuhi syarat:
a)      Berakal. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal hukumnya tidak sah. Anak kecil yang sudah mumayyiz (menjelang baligh), apabila akad yang dilakukannya  membawa keuntungan baginya, seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah menurut mazhab Hanafi.[12] Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan harta kepada orang lain, mewakafkan atau menghibahkannya tidak dibenarkan menurut hukum.
        Transaksi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang mengandung manfaat dan mudharat sekaligus, seperti jual beli, sewa-menyewa dan perserikatan dagang, dipandang sah menurut hukum dengan ketentuan bila walinya mengizinkan setelah dipertimbangkan.
Jumhur ulama berpendapat,  bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu, harus telah akil baligh dan berakal. Apabila orang yang berakal itu masih mumayyiz, maka akad jual beli tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.[13]
b)        Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.

2.)    Syarat yang terkait dengan Ijab dan Kabul
               Ulama fiqih sepakat mengatakan, bahwa urusan utama dalam jual beli  adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung. Ijab kabul harus diungkapkan secara jelas dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti jual beli, dan sewa menyewa. Sedangkan transaksi yang sifatnya tidak mengikat  salah satu pihak, seperti wasiat, hibah atau wakaf, tidak perlu ada kabul, dan cukup dengan ijab saja. Bahkan menurut Ibnu Thaimiyah (mazhab Hanbali) dan ulama lainnya ijab pun tidak diperlukan dalam masalah wakaf.[14]
Apabila ijab dan kabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.
      Ulama fiqih menyatakan bahwa syarat ijab dan kabul itu adalah sebagai berikut:
a)      Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal (jumhur ulama) atau telah berakal (Ulama mazhab Hanafi), sesuai dengan perbedaan mereka dalam menentukan syarat-syarat seperti telah dikemukakan di atas.[15]
b)      Kabul sesuai dengan ijab. Contohnya : “Saya jual sepeda ini dengan harga lima ratus ribu rupiah”, lalu pembeli menjawab: “Saya beli dengan harga lima ratus ribu rupiah”.
c)        Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akad jual-beli hadir dan membicarakan masalah yang sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli beranjak sebelum mengucapkan kabul atau pembeli mengadakan aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan akad jual beli tersebut, kemudian sesudah itu dia mengucapkan kabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqih, jual beli tersebut tidak sah.[16]
Berkenaan dengan hal ini, mazhab Hanafi dan mazhab Maliki mempunyai pandangan lain, bahwa ijab dan kabul boleh saja di antarai oleh waktu, dengan perkiraan bahwa pihak pembeli mempunyai kesempatan untuk berpikir.
Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali berpendapat, bahwa jarak antara ijab dan kabul jangan terlalu lama, karena dapat menimbulkan dugaan bahwa obyek pembicaraan jual beli telah berubah.[17]
Pada zaman sekarang ini, ijab dan kabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan tindakan, bahwa penjual menyerahkan barang dan pembeli mengambil barang dan menyerahkan uang, tanpa ucapan apapun, seperti yang berlaku di swalayan. Dalam fiqih Islam, jual beli seperti ini disebut dengan ba’i al-mu’athah.[18] Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya boleh, apabila hal ini telah menjadi kebiasaan masyarakat di suatu negeri. Akan tetapi ulama Syafi’iyah berpendapat jual beli tersebut tidak sah, alasan mereka adalah unsur  utama jual beli yaitu kerelaan kedua belah pihak.
Terkait dengan masalah ijab dan kabul ini, dalam jual beli melalui perantara menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa dan Wahbah Az- Zuhaili, baik melalui delegasi maupun melalui media tertentu, seperti surat menyurat adalah dibolehkan, sebab satu majelis tidak harus diartikan dengan sama-sama hadir dalam majlis secara lahir, tetapi dapat diartikan satu situasi dan satu kondisi, sekalipun antara kedua belah pihak yang mengadakan transaksi tempatnya berjauhan, asal topik yang dibicarakan berkisar mengenai jual beli.[19]
3.)    Syarat-syarat Barang yang Diperjualbelikan
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:
a.)    Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Adakalanya tidak semua barang yang akan dijual berada di toko atau belum dikirim dari pabrik, mungkin karena tempat sempit dan lain sebagainya. Yang terpenting, pada saat diperlukan barang itu sudah ada ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati bersama.[20]
b.)    Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c.)    Milik seseorang secara sempurna. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang secara sempurna tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut, karena ikan di laut belum dimiliki penjual.
d.)   Dapat diserahkan saat akad berlangsung.
4.)    Syarat Nilai Tukar (Harga Barang)
 Nilai tukar barang disebut juga dengan uang, nilai tukar barang dibedakan antara al-tsaman dan  al-si’ru. Al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, sedangkan al-si’ru adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen.[21] Dengan demikian, terdapat dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar).
Harga yang digunakan oleh pedagang adalah al-tsaman, berikut syarat-syaratnya:
a.)    Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.)    Dapat diserahkan pada saat transaksi, meskipun sistem pembayarannya memakai kartu kredit.
c.)     Apabila jual beli itu memakai sistem barter, maka tidak diperbolehkan barang yang dijadikan nilai tukar adalah barang yang diharamkan, seperti khamar.[22]
Untuk menjaga jangan sampai terjadi perselisihan antara pembeli dan penjual, maka syariat Islam memberikan hak khiyar (hak memilih untuk melangsungkan atau tidak melangsungkan jula beli) karena ada suatu hal bagi kedua belah pihak.[23]

D.    BENTUK-BENTUK JUAL BELI
Mazhab Hanafi membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk:
1.      Jual Beli yang Shahih
Apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun atau syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar lagi, maka jual beli itu shahih dan mengikat kedua belah pihak.[24]
2.      Jual Beli yang Batil
Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan, maka jual beli itu batil. Jual beli yang batil itu meliputi:
a.       Jual beli sesuatu yang tidak ada, ulama fiqih  sepakat menyatakan tidak sah. Umpamanya menjual buah-buahan yang baru berkembang (mungkin jadi buah atau tidak).
b.      Menjual barang yang tidak dapat diserahkan, hukumnya tidak sah dan disepakati oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Umpamanya menjual burung yang ada di udara.[25]
c.       Jual beli yang mengandung unsur tipuan (gharar), umpamanya barang itu kelihatannya baik sedangkan dibaliknya terlihat tidak baik, atau menjual ikan yang masih di kolam. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَشْتَروْا السَّمَكَ فىِ الماَ ءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ (رواه أحمد)
Artinya: “Janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias penipuan”. (H.R. Ahmad)[26]
d.      Jual beli benda najis. Menurut mazhab Hanafi diperbolehkan memperjualbelikan benda najis (tidak untuk dikonsumsi) seperti kotoran kambing untuk pupuk. Sedangkan mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, tidak memperbolehkan memperjualbelikan benda najis, bila dilihat dari suci atau tidaknya.
e.       Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang. Pendapat ini disepakati oleh jumhur ulama dari kalangan mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
النّاَ سُ شُرَكاَءُ عَلىَ ثَلاَ ثِ، اَلْماَ ءُ وَالْكَلاَ ءُ وَانَّا رُ (رواه أبوداود واحمد بن حنبل)
Artinya: “Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput dan api”. (H.R. Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal).[27]
Air tersebut adalah milik umat manusia bersama. Kemudian ada yang perlu dipertimbangkan, yaitu mengenai penjualan air tawar seperti di Jakarta, terutama di daerah yang airnya asin dan tidak bisa dikonsumsi atau untuk keperluan lain.[28] Dilihat dari jarak jauhnya, tidak memungkinkan secara perorangan mengambil air itu di danau atau mata air. Apabila keberatan dengan istilah jual beli, maka anggap saja sebagai imbalan jasa bagi pemasok air tersebut.
3.      Jual Beli yang Fasid
Menurut ulama Hanafi, jual beli yang  fasid antara lain sebagai berikut:
a.       Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli: “Saya jual mobil saya ini kepada anda bulan depan setelah mendapat gaji”. Jual beli seperti ini tidak boleh menurut mazhab Hanafi dan jumhur ulama, karena masa tenggang paling lama adalah tiga hari, apabila diberi hak khiyar syarat. Jika terlalu lama dikhawatirkan tidak ada berita lagi dan akad nya menjadi batal.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
أَنْتَ بِلْخِياَ رِ فِى كُلِّ سِلْعَةٍ اِبْتَعْتَهَا ثَلاَ ثَ لَياَ لٍ (رواه البيهقى)
Artinya: “Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”. (H. R. Baihaqi).[29]
b.      Jual beli anggur untuk membuat khamar. Apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa si pembeli akan memproduksi khamar, maka para ulama berbeda pendapat. Ulama mazhab Syafi’i menganggap hal itu sah, tetapi hukumnya makruh. Namun, ulama mazhab Maliki dan Hanbali menganggap jual beli ini fasid sama sekali.[30]  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَ لَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
 مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَياَّ مَ الْقِطاَفِ حَتَّى يَبِيْعَهُ مِمَنْ يَتَّخِذُهُ خَمْراً فَقَدْ تَقَحَّمَ الناَّ رَ
 عَلىَ بَصِيْرَةٍ. (رواه الطّبرا نى فى الأ و سط بإسنا د حسن)
Artinya: “ Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menahan buah anggur dari hasil panen paad musim panen tiba untuk dijual kepada pembuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menceburkan dirinya ke dalam api neraka dengan sengaja”. (H.R. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dengan sanad hasan).[31]
c.       Jual beli yang tergantung pada syarat, yakni menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.[32] Seperti ungkapan pedagang: “Jika kontan harganya Rp. 1.300.000 dan jika berhutang harganya Rp. 1.350.000”. Jual beli ini dinyatakan fasid. Sabda Rasulullah:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنْ بَيْعَتَيْنِ وَعَنْ شَرْ طَيْنِ فِى بَيْعٍ (رواه أ صحاب السنن)
Artinya: “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu akad dan dua syarat dalam satu bentuk jual beli”. (HR. Ashabas Sunan)
Ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa jual beli bersyarat di atas adalah batil. Sedangkan ulama mazhab Maliki menyatakan jual beli bersyarat di atas adalah sah, apabila pembeli diberi hak khiyar.
d.      Jual beli yang dilakukan orang buta. Jumhur ulama mengatakan bahwa jual beli yang dilakukan oleh orang buta adalah sah, jika orang buta itu mempunyai hak khiyar. Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik,[33] kecuali barang yang dibeli tersebut telah dilihatnya sebelum matanya buta. Hal ini berarti, bahwa orang yang buta sejak lahir tidak dibenarkan mengadakan akad jual beli.
Ada beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah hukumnya.   Jual beli tersebut antara lain:
1.      Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.[34] Perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang berlokasi di daerah perbatasan antara kota dan kampung. Tapi, jika ini sudah diketahui orang kampung, jual beli seperi ini tidak apa-apa. Rasulullah SAW bersabda:
قاَلَ رَ سُوْ لُ اللهِ ص.م لاَ يَبِيْعُ حاَضِرٌ لِباَ دٍ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Tidak boleh menjualkan orang hadir (orang di kota) barang orang dusun (baru datang)”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
2.      Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti seseorang berkata, “ Tolaklah harga tawarannya itu, nanti akan aku beli dengan harga yang lebih mahal”. Hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَسُوْ مُ الرَّ جُلَ عَلىَ سَوْمِ أَخِيْهِ (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “ Tidak boleh seseorang menawar di atas tawaran saudaranya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[35]
3.      Jual beli dengan Najasyi, ialah seseorang melebihi atau menambah harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang kawannya. Hal ini dilarang agama. Rasulullah SAW bersabda:
نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَنِ النَّجَشِ (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “ Rasulullah SAW telah melarang melakukan jual beli dengan Najasyi”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[36]
4.      Menjual di atas penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata:
Kembalikan saja barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu”. Rasulullah SAW bersabda:
قاَ لَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م وَلاَ يَبِيْعُ الرَّ جُلَ عَلىَ بَيْعِ أَخِيْهِ (رواه بخارى ومسلم)
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: seseorang tidak boleh menjual atas penjualan orang lain”. H. R. Bukhari dan Muslim).[37]
Selain beberapa bentuk jual beli di atas, ada juga bentuk-bentuk jual beli yang dilarang oleh syara’, antara lain:
1.      Jual beli sperma hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan. Jual beli ini hukum haramnya, karena Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قاَلَ نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ (رواه البخارى)
Artinya: “ Dari Ibnu Umar r.a, berkata: Rasulullah SAW telah melarang menjual sperma binatang”. (H. R. Bukhari).[38]
2.        Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan padi bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh syara’, Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ أَنَسٍ رض قاَ لَ نَهىَ رَسُوْ لُ اللهِ عَنِ الممُحاَ قَلَةِ وَالْمُحاَ ضَرَةِ وَالْمُلاَمَسَةِ وَالْمُناَ بَذَةِ وَالْمُزاَ بَنَةِ (رواه البخارى)
Artinya: “Dari Annas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli muhaqallah,mukhadharah, mulammassah, munabazah dan muzabanah”. (H. R. Bukhari).[39]
3.        Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar, jual beli tersebut dilarang oleh syara’, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ جاَ بِرٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قاَ لَ إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْأَصْناَمِ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Jabir r.a, Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak,bangkai, babi dan berhala”. (H. R. Bukhari dan Muslim).[40]
4.      Jual beli dengan persekot. Ulama fiqih berbeda pendapat boleh atau tidaknya transaksi jual beli seperti ini. Karena adanya larangan ini Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat transaksi jual beli seperti ini bathil, di samping karena pada transaksi tersebut ada syarat yang tidak dibenarkan dan juga termasuk kategori memakan harta dengan cara yang batil. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
وَعَنْهُ قاَلَ : نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْ باَ نِ.
(رواه ما لك, قا ل: بلغنى عن عمر و بن شعيب به)
Artinya: “ Darinya Radhiyallahu Anhu, dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli dengan persekot”. (H.R. Malik, ia berkata: Aku menerimanya dari Amar Ibnu Syu’aib).[41]
E.     MANFAAT DAN HIKMAH JUAL BELI
1.       Manfaat jual beli, di antaranya:
a.    Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b.      Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c.       Masing-masing pihak merasa puas. Jual beli bisa mendorong untuk saling membantu antara penjual dan pembeli dalam kebutuhan sehari-hari.
d.      Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e.       Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah Swt.
f.       Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan. Keuntungan dan laba dari jual beli dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apabila kebuthan sehari-hari dapat terpenuhi, maka diharapkan ketenangan dan ketentraman jiwa dapat pula tercapai.[42]
2.      Hikmah Jual beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya adalah Allah SWT mensyariatkan jual beli sebagai pemberian kemudahan dan keleluasaan kepada hamba-hambaNya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup di dunia. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan dengan satu sama lainnya, yakni memiliki hubungan sosial yang tinggi dan tentunya juga baik antar sesama.
 Dalam hubungan ini, tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar (jual beli), di mana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.[43] Tentunya tetap didasari dengan rasa kerelaan antara kedua belah pihak agar tidak terjadi rasa penyesalan ataupun kekecewaan setelah adanya transaksi tersebut.












KESIMPULAN

Dari beberapa pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1.        Pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2.      Dasar hukum jual beli terdapat pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275, 197, 282 dan al-Nisa’ ayat 29 serta dalam hadits Nabi tentang sifat jual beli yang mendapat berkah dari Allah dan profesi yang paling baik yakni jual beli.
3.        Rukun jual beli menurut mazhab Hanafi hanya meliputi ijab dan kabul saja. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun jual beli beserta syarat-syaratnya ada empat, yaitu orang yang berakad (penjual dan pembeli), sighat (lafal ijab dan kabul), ada barng yang dibeli dan ada nilai tukar pengganti barang.
4.        Bentuk-bentuk jual beli menurut mazhab Hanafi terbagi menjadi tiga:
a.       Jual beli yang shahih, sesuai dengan syari’at Islam, memenuhi rukun dan syarat jual beli.
b.      Jual beli yang batil, jika salah satu atau seluruh rukun jual beli tidak dipenuhi dan tidak sesuai syari’at Islam.
c.       Jual beli yang fasid, apabila tidak cukup syarat jual beli.
Bentuk-bentuk jual beli yang sah tapi dilarang agama:
a.       Membeli barang dengan harga sangat murah, sebelum tahu harga pasaran. Kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
b.      Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
c.       Jual beli dengan Najasyi.
d.      Menjual di atas penjualan orang lain.
Bentuk-bentuk jual beli yang dilarang oleh syara’:
a.       Jual beli sperma hewan.
b.      Jual beli dengan muzabanah.
c.       Jual beli yang bendanya najis dan sudah diharamkan.
d.      Jual beli dengan persekot.
5.        Manfaat jual beli yaitu:
a.         Menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b.         Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c.         Jual beli bisa mendorong untuk saling membantu antara penjual dan pembeli dalam kebutuhan sehari-hari.
d.        Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e.         Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah Swt.
f.          Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.  
6.        Hikmah jual beli adalah Allah SWT mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keleluasaan kepada hamba-hambaNya. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan dengan satu sama lainnya dengan saling tukar (jual beli). di mana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing dan adanya rasa kerelaan kedua belah pihak. 


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram Jilid 2. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007.

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat). Jakarta: PT RajaGrafindo  Persada, 2004.
Mujahidin, Ahmad. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Shidiq,  Sapiudin  dan Abdul Rahman Ghazaly, dkk.  Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.







[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 74.
[2] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,,,,, 73.
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 67.
[4] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,,,,, 74.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,,,, 69.
[6] M.  Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat)  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 115.

[7]M.  Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 116.
[8] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,,,,, 75.
[9] M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 116-117.
[10] Ibid., 118.
[11]Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk, Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 71.
[12]M. Ali  Hasan, Berbagai Macam,,,,, 119.
[13] Abdul Rahman dkk, Fiqih Muamalat,,,,, 72.
[14] M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 120.
[15] Ibid.
[16]M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 121
[17]Ibid.
[18] Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian,,,,, 162.
[19] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih Muamalat ,,,,, 75.
[20] M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 123.
[21]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian,,,,, 163.
[22]M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 124.
[23] Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian,,,,,165.
[24]M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 128.
[25] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,,,,, 97.
[26] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,,,,,  81.
[27] M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 133.
[28] M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,, 134.
[29] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,,,,,  84.
[30] M. Ali Hasan, Berbagai Macam,,,,,  137.
[31] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram Jilid 2, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), 376.
[32] Hendi Suhendi,  Fiqih Muamalah,,,,, 80.
                [33] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,,,, 94. 
[34] Hendi Suhendi,  Fiqih Muamalah,,,,, 82.
[35] Hendi Suhendi,  Fiqih Muamalah,,,,, 82.
[36] Ibid.
[37] Hendi Suhendi,  Fiqih Muamalah,,,,, 84.
[38] Ibid., 78.
[39] Hendi Suhendi,  Fiqih Muamalah,,,,, 80.
[40] Ibid., 78.
[41] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram,,,,, 346.
[42] Abdul Rahman Ghazaly, dkk,,,, 88.
[43]Abdul Rahman Ghazaly, dkk,,,,  89.

Put your ad code here

About

Mari belajar bersama berdiskusi bersama dalam blog ini. semoga apa yang kami tulis dapat bermanfaat bagi semuanya, dan jangan lupa kritik dan sarannya untuk kita bersama.

Recent

Comment

Android

iklan

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.

Latest Posts

Join with us

Full width home advertisement

Total Pageviews

Search This Blog

Blogger templates

Post Page Advertisement [Top]

Climb the mountains

About Sure Mag

Search Blog

Social Media

Random Posts

Recent Posts

Recent in Sports

Header Ads

test

Travel the world

Blogroll

Followers

IKLAN

iklan

Author Description

Hey there, We are Blossom Themes! We are trying to provide you the new way to look and use the blogger templates. Our designers are working hard and pushing the boundaries of possibilities to widen the horizon of the regular templates and provide high quality blogger templates to all hardworking bloggers!

Featured

Translate

Blogger news

Follow us on FaceBook

About

Advertise
300x250
Here

Ads by Seocips.com

Recent

Blogroll

Bottom Ad [Post Page]

Pages

Facebook

Pages

Comments

Pages - Menu

Pages - Menu

Pages - Menu

android

Most Popular

Weekly